Suluk Wijil

9 Sang Arif berkata lembut “Hai Wujil, kemarilah!” Dipegangnya kucir rambut Wujil Seraya dielus-elus Tanda kasihsayangnya “Wujil, dengar sekarang Jika kau harus masuk neraka Karena kata-kataku Aku yang akan menggantikan tempatmu” ... 11 “Ingatlah Wujil, waspadalah! Hidup di dunia ini Jangan ceroboh dan gegabah Sadarilah dirimu Bukan yang Haqq Dan Yang Haqq bukan dirimu Orang yang mengenal dirinya Akan mengenal Tuhan Asal usul semua kejadian Inilah jalan makrifat sejati”

Rabu, 24 Oktober 2007

Rekonstruksi Hakekat Tujuan Penciptaan Manusia

Rekonstruksi Hakekat Tujuan Penciptaan Manusia

http://jurnalistikuinsgd.wordpress.com 9 05 2007

Refleksi subyektivitas terhadap Pemahaman manusia
Oleh : Ridwan Ibnu Asikin

Dimensi waktu yang dinamis, sungguh telah mempertemukan kita kepada dinamika kehidupan yang sangat beragam dan kompleks. Dimana realita sebagian umat manusia dewasa sekarang, baik itu secara eksplisit maupun implisit sekalipun, kini benar-benar sudah tidak lagi bisa menghargai agama sebagai dogma yang mesti di aplikasikan dan di realisasikan dalam kehidupan sehari-hari melainkan agama hanya sebatas sebagai identitas yang melekat di diri.

Sejalan dengan itu, distorsi tentang pemahaman tujuan penciptaan manusia pun kini telah menjadi sebuah realitas dan wacana baru dalam tatanan kehidupan umat manusia dewasa sekarang. Hal ini bisa dilihat dari dinamika sebagian besar umat manusia yang notabene sudah mulai menisbikan dan memarginalkan ajaran agama ( baca : islam ) dari kehidupannya dan ternina bobokan oleh aksentuasi pemikiran yang berasumsi bahwa agama bukanlah sebagai panutan dalam jejak kehidupan manusia dewasa sekarang, sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang barat yang kehidupannya lebih maju dan tertata rapi bahkan disiplin karena telah mengenyampingkan ajaran agamanya dari kehidupan sehari-hari dan berpindah kiblat ke sains dan teknologi. Jika benar, dengan begitu seolah-olah ada pengalihan juridiksi dari agama ke sains dan teknologi. Mirisnya, mereka juga kini meluncurkan apologi dan previkasi kalau agama itu tidak bisa menghargai zaman alias tidak relevan.

Kenyataan diatas sangatlah kontradiktif sekali bahkan bisa menjadi destruktif, dimana sebagian umat manusia sekarang sudah tidak lagi menjadikan agama sebagai dogma yang harus di realisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun mereka hanya menjadikan agama sebatas wacana saja dan identitas diri belaka. Hal ini patut kita pelajari sebagai acuan dasar terhadap suatu prinsip yang memegang teguh terhadap keyakinan orang-orang barat.

Jika di tinjau dalam Al qur’an tercatat historisitas manusia diciptakan oleh Allah Swt untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini ( Khalifah fil al-ardi ) ( Qs. Al-Baqarah : 30 ). Sejatinya sebagai khalifah, manusia harus bisa mengemban amanat ini yang secara dialekta tidak di berikan kepada langit, bumi, malam, matahari begitu juga kepada hewan. Dengan begitu manusia adalah makhluk yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan keruwetan ( sofistikasi ) yang bahasa Al-Qur’an nya “ahsan al-taqwim” ( Qs. At-Tin : 4 ).

Mengutip perkataan Nurcholis Madjid. Sebagai khalifah maka tugas manusia adalah menyampaikan berita dari dunia ghaib agar supaya dapat difahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh manusia. Tetapi karena tidak semua manusia pada prakteknya bisa menerima “pesan-pesan ilahi” ini, maka Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk membawa kabar tersebut. Sedangkan dalam bahasa Jal al-Din Rumi yakni: “ketika kebun-kebun mawar telah musnah, kemanakah kita akan mendapatkan semerbak mawar ? Jawabnya adalah “air mawar”. Yang dimaksud oleh Rumi adalah ketika Alllah Swt yang ghaib, tidak bisa kita lihat, maka melalui para Nabi dan Rasul-lah maka pesan dan berita diriNya dapat kita peroleh, bukan dengan jalan pemikiran agar agama ( baca : Islam ) harus diartikulasikan sebagai entitas yang harus relevan dengan perkembangan zaman.

Manusia di karunia akal adalah sebagai perangkat agar kelak mereka bisa memahami ma’na hakekat penciptaannya dan yang lainnya bukan untuk mengingkari ma’na tersebut. Al-Ghazali (w. 1111) menganologikan akal sebagai “Wazir” yang perintah-perintahnya harus diikuti oleh hawa nafsunya, yaitu nafsu syahwat yang bertugas sebagai “tax collector”, dan nafsu ghadlabiyah yang bertugas sebagai polisi. Hanya dengan mengikuti instruksi-instruksi sang Wazir maka keadaan negara akan berjalan lancar dan memperoleh kemajuan

Dengan begitu secara eksplisit manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan memilih yang hal ini di pandang semu oleh kaum Jabariyah dan bahkan Asy’ariyah begitu juga oleh sebagian orang-orang sufi. Dimana manusia diberi kebebasan penuh dalam memilih ( Ikhtiyar ) jalan mana yang mau mereka pilih sebagai jalan hidupnya. Dan barangkali ini adalah sebagai konsekuensi logis dari kekhalifahannya di muka bumi. Tetapi di balik itu Allah juga mempunyai rencana lain. Sebab, Allah Swt menciptakan manusia tidak hanya dibiarkan begitu saja tanpa pertanggung jawaban ( Qs. Al-Qiyamah : 36 ).

Seiring dengan itu seorang pembaharu islam yang lahir di Mesir pada awal abad ke 20 yaitu Sayyid Quthb berpendapat bahwa ” Manusia menurutnya bukanlah boneka atau wayang tanpa nyawa yang gerak dan perbuatannya sepenuhnya di tentukan oleh orang yang memainkannya. Juga bukan bulu yang melayang-layang di udara yang arahnya tergantung kemana angin itu berhembus. Tetapi mereka adalah aktor-aktor yang harus memainkan peran yang telah ditentukan kepada mereka oleh Sang pembuat skenario dan perancang lakon. Tugas mereka adalah memainkan peran mereka sebaik-baiknya, untuk itu mereka diberi akal, kehendak dan perlengkapan untuk mengembangkan peranan mereka dengan sebaik-baiknya. Jika mereka berhasil memainkan peran mereka dengan baik, maka akan diberi imbalan, tetapi jika gagal mereka akan dihukum “

Lain lagi dengan Jal al-Din Rumi yang menganalogikan manusia dengan buah. Walaupun buah itu tumbuh setelah batang dan ranting tetapi pohon secara keseluruhan justru tumbuh untuk menghasilkan buah tersebut. Kalau bukan mengharapkan buah, tanyanya, betapa seorang petani ‘kan tanam pohon ? Sesungguhnya seorang petani menanam pohon karena mengharapkan buah dari pohon tersebut. Karena pohon tanpa buah adalah pohon yang sia-sia, sebagaimana analogi yang dibuat Rasulullah ketika menggambarkan kesia-siaan ilmu tanpa diamalkan.

Dengan demikian, dalam jejak kehidupan manusia secara dogmatis ataupun de fakto, manusia mempunyai dua jalan yang harus di pilihnya untuk mengarungi roda kehidupannya di muka bumi ini. Mereka harus bisa memilih salah satu diantara jalan tersebut sebagai jalur kehidupannya kelak, karena jika tidak maka akan terjadi diskontinuitas di sepanjang sejarah kehidupannya. Dalam hal ini Allah Swt pun telah menyediakan ” HADIAH ” yang sudah di sediakan di dua ujung jalan tersebut bagi manusia.

” Itulah batas-batas ( hukum ) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang agung. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas hukum hukum-Nya, niscaya Allah akan memasukkan dia ke dalam api neraka, dia kekal didalamnya dan dia akan mendapatkan azab yang menghinakan ” ( Qs. An-Nisaa : 13 -14 ).

Berangkat dari sini, marilah kita sama sama jadikan ini semua sebagai agenda kontemplasi dan kolegialitas kita semua agar kelak tidak ada lagi disparatis pemahaman tentang kuentensensi penciptaan manusia. Dan sejatinya, kita sebagai leader of tomorrow harus bisa menjadi figur sekaligus yang merekonstruksi dan mereaktualisasikan kembali pemahaman yang diskrepan dengan ajaran islam dan membumikan ajaran agama ( Islam ) yang bukan dogma semata, karena hal ini sangat inheren sekali dengan tujuan dakwah kita untuk menciptakan umat manusia yang religiositas dan kompeten dalam struktur realisasinya. Wallahu A’lam bi shawab.

* Penulis adalah Santri Universitas Al Azhar Fakultas Ushuluddin Kairo