Suluk Wijil

9 Sang Arif berkata lembut “Hai Wujil, kemarilah!” Dipegangnya kucir rambut Wujil Seraya dielus-elus Tanda kasihsayangnya “Wujil, dengar sekarang Jika kau harus masuk neraka Karena kata-kataku Aku yang akan menggantikan tempatmu” ... 11 “Ingatlah Wujil, waspadalah! Hidup di dunia ini Jangan ceroboh dan gegabah Sadarilah dirimu Bukan yang Haqq Dan Yang Haqq bukan dirimu Orang yang mengenal dirinya Akan mengenal Tuhan Asal usul semua kejadian Inilah jalan makrifat sejati”

Rabu, 24 Oktober 2007

Ibadah Sepenuh Hidupku

Juni 21, 2007

http://fauzansa.wordpress.com/2007/06/21/ibadah-sepenuh-hidupku/

Dulu saya memahami bahwa tugas manusia ada dua, sebagai penyembah Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dua-duanya adalah dua sisi dari sebuah mata uang. Di balik ibadah kita, terkandung tugas kita sebagai khalifah. Di balik tugas kita untuk mengurus bumi, terkandung pengabdian kepada-Nya.

Namun, ketika sejenak memperhatikan terjemahan ayat Al-Qur’aan, ternyata terjemahannya tidak menggunakan kata-kata yang mirip. Saya memang bukan ahli tafsir, tapi tentunya beda artinya antara “jaa’ilu fil-ardhi khaliifah” dengan “illa li ya’buduun”. Tentu dua hal itu tidaklah setara. Yang satu menunjukkan bahwa ibadah itu adalah sepenuh hidup kita, yang lain menunjukkan bahwa menjadi khalifah adalah sebagian dari kemampuan kita yang sekaligus menjadi tanggung jawab kita.

Saya jadi ingat bab awal dari bukunya Pak Talib yang berjudul “Melacak Kekafiran Berfikir”. Ada yang dinamakan berlainan, berbeda, dan berlawanan. Tentu saja, ini hanyalah istilah beliau saja. Namun, kita ambil saja untuk mempermudah penamaan. Berlainan artinya dua hal yang tidak mesti bertentangan secara komplementer, namun saling asing. Contohnya adalah berjalan dan berlari. Berlawanan adalah dua hal yang berlawanan secara komplementer. Misalnya saja, hidup dan mati. Berbeda artinya adalah dua hal yang merupakan predikat yang didefinisikan secara terpisah, tapi dapat mempunyai subjek yang sama. Guru dan murid berbeda. Tapi seseorang dapat dinyatakan sebagai murid dan guru secara sekaligus. Begitu panjangnya paragraf ini, tujuannya hanya untuk menyatakan bahwa menjadi khalifah dan beribadah kepada Allah itu dua hal yang berbeda.

Apa perlunya menyatakan perbedaan tersebut? Agar kita tidak rancu dalam memahami arti ibadah. Dinyatakan, kita diciptakan HANYA untuk beribadah kepada Allah. Seharusnya tidak lagi timbul pertanyaan, lalu tugas kita sebagai khalifah bagaimana? Hmm, satu hal yang menarik. Dijadikan kita oleh Allah sebagai khalifah, berarti masih dimungkinkan kita masih punya tugas yang berlainan di luar itu. Namun, beribadah kepada Allah, tidak ada yang lain. Hanyalah itu tujuan hidup kita.

Memang, tidak ada yang baru tentang ibadah kepada Allah. Tidak ada yang baru dari ilmu ikhlas yang harus dikuasai ketika akan beribadah kepada-Nya. Hanya sekedar mengingatkan, kadangkala kita kurang memaknai ibadah itu sebagai sesuatu yang seharusnya. Saya sudah melakukan sesuatu dengan ikhlas, berarti saya sudah beribadah. Saya pengen mendapat surga, itu juga ikhlas khan? Saya takut neraka ketika menghindari yang haram, apakah seperti itu tidak dikatakan ikhlas?

Tidak ada yang menyalahkan hal itu. Tapi, ada satu hal yang sering kita lupa. Kita terlalu gengsi sama Allah. Kita bahkan sering menantang-Nya tanpa sadar. Bahkan, berdasar bekal teori motivasi barat, kita menjadi seseorang yang tidak tunduk kepada Sunnatullah. Kita mengambil dasar Allah itu menuruti persangkaan hamba-Nya, tapi tidak paham apa artinya dengan sebaik-baiknya.

Kita sering punya pandangan, tidak ada yang kita tidak mampu, karena Allah telah memberikan pilihan. Satu-satunya yang dimiliki manusia hanya kemampuan untuk memilih, karena itu dia pasti mampu untuk melakukan sesuatu yang baik-baik. Karena percaya semuanya telah disiapkan dengan baik layaknya jalan yang saling bersimpang siur, kita dengan sangat percaya diri merasa bisa memilih jalan lurus sendirian. Allah hanya jadi pencipta takdir. Yang manapun jalan yang kita pilih, itulah pilihan kita. Jadi baik atau buruk itu tanggung jawab kita. Allah hanya mengilhamkan baik dan buruk, serta menciptakan jalan-jalan untuk kita lalui. Tujuan hidup kita akhirnya bukan untuk beribadah dengan ikhlas, tapi mengejar kebahagiaan dengan “melupakan” Allah.

Saya kira, bukan begini Allah menciptakan manusia. Ketika ditugaskan untuk beribadah, harusnya hal itu dimaknai lebih dalam. Harusnya doa-doa kita mewujudkan seluruh kelemahan kita. Harusnya sholat kita benar-benar diniatkan untuk menyembahnya, bukan sekedar supaya mendapat pahala, bukan sekedar takut, bukan sekedar cinta. Harusnya, setiap istighfar kita selalu mengikutsertakan segala ketanpadayaan kita, bukan sikap tinggi hati yang sekedar mengakui kebodohan kita. Mengakui kebodohan, itu berarti mengakui bahwa kita mampu untuk melakukan segala sesuatu dengan benar. Mengakui ketanpadayaan kita, adalah perasaan bahwa kita benar-benar bergantung kepada-Nya.

Beginilah kita seharusnya memotivasi diri. Tidak hanya sekedar kata-kata motivasi semacam “saya bisa jika berpikir saya bisa” atau “saya adalah yang saya pikirkan”. Cuma Allah yang penting. Yang lainnya cuma bonus. Istri cantik itu bonus. Rumah bagus itu bonus. Kekuasaan dan keterkenalan itu bonus. Jika penyerahan diri total kita lakukan, maka kita akan mendapatkan ridha Allah, sekaligus bisa menikmati rizki-Nya, di dunia maupun di akhirat.

Ketika istri secara tidak masuk akal marah-marah dan itu di luar kehendak kita, maka Allah penyebabnya. Atasi dia dengan semangat untuk menyembah Allah. Ketika rekan kerja kita menyingkirkan kita karena masalah prinsip, itu juga dari Allah. Ketika tiba-tiba kehilangan anggota keluarga, jelas itu dari Allah. Ketika tiba-tiba kecelakaan sehingga hilanglah anugerah yang merupakan kemampuan kita, siapa lagi kalau bukan dari Sang Pemberi Anugerah? Apapun yang tidak menyenangkan dan kita tidak kuasa terhadapnya adalah dari Allah. Satu-satunya yang perlu kita lakukan adalah mengingat-Nya dan kembali mengadukan segalanya kepada-Nya.

Allah Maha Pemurah. Allah Maha Penyayang. Kita hanyalah makhluk hina yang segala nasibnya bergantung kepada-Nya. Hanya Dia yang layak kita sembah. Hanya Menyembah Dia segala yang perlu kita lakukan. Jangan pernah melupakan segala peranNya dalam hidup kita. Jangan berhenti memohon. Jangan berhenti mengeluh kepada-Nya, menangis kepada-Nya, ataupun mengaku salah kepada-Nya. Selalulah bertasbih dan mengharap ridho-Nya.