Suluk Wijil

9 Sang Arif berkata lembut “Hai Wujil, kemarilah!” Dipegangnya kucir rambut Wujil Seraya dielus-elus Tanda kasihsayangnya “Wujil, dengar sekarang Jika kau harus masuk neraka Karena kata-kataku Aku yang akan menggantikan tempatmu” ... 11 “Ingatlah Wujil, waspadalah! Hidup di dunia ini Jangan ceroboh dan gegabah Sadarilah dirimu Bukan yang Haqq Dan Yang Haqq bukan dirimu Orang yang mengenal dirinya Akan mengenal Tuhan Asal usul semua kejadian Inilah jalan makrifat sejati”

Rabu, 07 November 2007

Takdir

Takdir

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


Takdir adalah suatu ketetapan akan garis kehidupan seseorang. Setiap orang lahir lengkap dengan skenario perjalanan kehidupannya dari awal dan akhir. Hal ini dinyatakan dalam Qur'an bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap diri seorang sudah tertulis dalam induk kitab. Namun pemahaman seperti ini tidak bisa berdiri sendiri atau belum lengkap, karena dengan hanya memahami seperti tersebut diatas dapat menyebabkan seseorang bingung untuk menjalani hidup dan mensikapinya. Disatu sisi seseorang

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Takdir dalam agama Islam

Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mendefinisikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.

Untuk memahami konsep takdir, umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.

[sunting] Dimensi ketuhanan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

[sunting] Dimensi kemanusiaan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.

[sunting] Implikasi Iman kepada Takdir

Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah terjadi.

Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).

Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.

[sunting] Iman kepada Qadar

Iman kepada Qadar adalah salah satu dari enam rukun iman yang telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman. Iman kepada Qadar adalah masalah yang sangat penting. Banyak orang yang telah memperdebatkan tentang Qadar sejak zaman dahulu, sampai hari inipun mereka masih memperdebatkan. Akan tetapi kebenaran masalah tersebut, walillah al-Ham, sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kemudian yang dimaksud dengan iman kepada Qadar adalah kita mempercayai (sepenuhnya) bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya.

"Artinya : Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya" [Al-Furqaan : 2]

Kemudian ketetapan yang telah ditetapkan Allah selalu sesuai dengan kebijakan-Nya dan tujuan mulia yang mengikutinya serta berbagai akibat yang bermanfaat bagi hamba-Nya, baik untuk kehidupan (dunia) maupun akhiratnya.

Iman kepada Qadar berkisar empat tingkat keimanan.

[1]. Ilmu (Allah), yakni mempercayai dengan sepenuhnya bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi segala sesuatu, baik di masa lalu, sekarang maupun yang akan datang, baik yang berhubungan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan hamba-Nya. Dia (Allah) meliputi semuanya, baik secara global maupun rinci dengan ilmu-Nya yang menjadi salah satu sifat-Nya sejak azali dan selamanya (tak ada akhirnya). Dalil-dalil tentang tingkatan ini banyak sekali. Allah telah berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak ada rahasia lagi bagi-Nya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit" [ Ali-Imran : 5]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan pengetahuan Allah pada segala sesuatu, baik secara global maupun rinci. Dalam tingkatan ini barangsiapa yang mengingkari Qadar maka dia kafir, karena dia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma' kaum muslimin dan meremehkan kesempurnaan Allah. Maka Allah tidak akan bodoh terhadap sesuatu yang akan datang dan tidak akan melupakan sesuatu yang telah lewat.

[2]. Beriman kepada Allah telah menulis ketetapan segala sesuatu sampai terjadi hari Qiyamat, karena ketika Dia menciptakan Qalam, Dia berfirman kepadanya : "Tulislah", kemudian dia (Qalam) berkata : "Hai Tuhanku, apa yang aku tulis?" Dia berfirman : "Tulislah (dalam hadits yang lain. "Tulislah taqdir segala sesuatu hingga hari kiamat") semuanya yang terjadi", kemduian dia (Qalam) seketika berjalan menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari Qiyamat. Maka Allah telah menulis di Lauh Mahfudz ketetapan segala sesuatu. Tingkatan ini telah ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya : Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah" [Al-Hajj : 70]

[3]. Beriman bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini disebabkan kehendak Allah. Segala sesuatu yang ada di alam ini terjadi karena kehendak Allah, baik yang dilakukan oleh-Nya maupun oleh mahkhluk. Allah telah berfirman.

"Artinya : Dia (Allah) melakukan apa yang Dia kehendaki" [Ibrahim : 7]

Allah juga berfirman.

"Artinya : Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya" [Al-An'am : 149]

[4]. Beriman bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Maka Allah adalah Maha Pencipta dan selain-Nya Dia adalah makhluk. Segala sesuatu, Allah-lah penciptanya dan semua makhluk adalah ciptaan-Nya. Jika segala perbuatan manusia dan ucapannya termasuk sifatnya, sedangkan manusia itu makhluk, maka sifat-sifatnya juga makhluk Allah. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya : Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" [As-Safat : 96]

Dengan demikian, Allah telah menetapkan penciptaan manusia dan perbuatannya. Allah juga berfirman : "Wa ma ta'malun" (dan apa saja yang kamu perbuat).

Kemudian ketahuilah bahwa iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan pelaksanaan sebab, bahkan melaksanakan berbagai sebab merupakan perintah Syari'ah. Hal itu dapat tercapai karena Qadar, karena bebagai sebab akan melahirkan musabab (akibat). Oleh karena itu, Amirul Mu'minin, Umar bin Khaththab, ketika pergi menuju Syam, di tengah perjalan dia mengetahui bahwa telah menyebar wabah penyakit di sana. Kemudian para sahabat bermusyawarah ; apakah perjalanan ini diteruskan atau kembali pulang ke Madinah ? Maka terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka dan kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah. Ketika beliau (Umar) sudah mantap pada pendapat tersebut, maka datanglah Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarah seraya berkata : Hai Amirul Mu'minin, mengapa anda kembali ke Madinah dan lari dari Qadar Allah ?" Umar menjawab : " Kami lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah". Kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf (dia sebelumnya tidak ada di situ untuk memenui kebutuhannya), kemudian dia menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda tentang wabah penyakit.

"Artinya : Bila kamu sekalian mendengar terjadinya wabah penyakit di bumi tertentu, maka janganlah kamu mendatanginya dan biarkan mereka yang terkena wabah itu mati tanpa perlu dikasihani. Contoh gempa di Aceh lalu, banyak muslim segan datang menolong mereka yang tertimpa bencana mengingat takdir ini".

Kesimpulan perkataan Umar "lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah" itu merupakan dalil bahwa melaksanakan sebab juga termasuk Qadar Allah. Kita tahu bahwa apabila seseorang mengatakan " saya beriman kepada Qadar Allah dan Allah akan memberiku seorang anak dengan tanpa istri", maka orang tersebut dapat dikatakan gila. Begitu juga bila dia mengatakan "saya beriman kepada Qadar Allah dan saya tidak akan berupaya mencari rizki dan tidak melaksanakan sebab-sebab mendapatkan rizki", maka dia adalah dungu. Maka iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan sebab-sebab syar'iyah atau ikhtiar yang benar. Adapun sebab-sebab yang berupa prasangka yang dianggap palakunya sebagai sebab padahal bukan, maka hal itu di luar perhitungan dan tidak perlu diperhatikan.

[sunting] Konsep Takdir dalam agama Islam

Taqdir berarti kepastian atau ketentuan. Yaitu suatu ketentuan yang telah ditetap Allah SWT kepada setiap hambaNya.

Ada yang namanya Taqdir Mubram yaitu suatu ketentuan yang bersifat pasti dan tak dapat dirubah oleh siapapun, seperti : Manusia pasti mati

dan ada yang namanya Taqdir Muallaq, yaitu suatu ketentuan berdasarkan situasi dan kondiri, seperti : Kalau seseorang itu rajin belajar, maka ia akan pandai, tapi jika ia malas, maka ia akan bodoh. orang yang rajin bekerja, ia akan kaya, tapi yang malas berusaha, ia akan miskin

[sunting] Takdir dalam agama Kristen

Pengertian yang serupa dengan takdir dalam agama Kristen ditemukan khususnya dalam ajaran Yohanes Calvin tentang predestinasi. Ajaran ini secara khusus dikaitkan dengan keselamatan jiwa seseorang. Menurut Calvin, manusia telah ditetapkan Allah bahkan sejak di dalam kandungan ibunya apakah ia akan diselamatkan atau tidak. Ajaran Calvin ini selanjutnya dikembangkan oleh sejumlah pengikutnya menjadi ajaran predestinasi ganda yang menyatakan bahwa sebagian manusia telah ditetapkan untuk diselamatkan, sementara sebagian lagi ditetapkan untuk hukuman kekal.

Calvin sendiri sebetulnya tidak menganggap ajaran predestinasi ini sebagai ajaran yang utama. Di masa kini ajaran predestinasi maupun predestinasi ganda telah banyak ditinggalkan oleh Gereja-gereja Calvinis. Hanya beberapa aliran Calvinis konservatif yang masih mempertahankan ajaran ini.

[sunting] Kesimpulan

Takdir dalam doktrin Quran bisa ditafsirkan oleh siapa saja sesuai kondisinya masing-masing. Sangat fleksibel dan tidak memiliki ketentuan yang pasti.


Takdir seperti kalkulator

Takdir seperti kalkulator

kalkulatorDemikianlah analogi yang disampaikan Agus Mustofa dalam bukunya Mengubah Takdir. Artinya keberhasilan kita di dunia ini bergantung pada potensi yang sduah diberikan Allah, dan usaha kita dalam bentuk memijit-mijit tobol kalkulator itu.

Saya rangkum kembali apa yang disampaikan Agus dalam bahasa saya. Kira-kira kurang lebih begini. Setiap diri kita ini sudah diprogram sebelumnya oleh Allah seperti halnya setiap kalkulator sudah diberi program di dalamnya oleh pabrik pembuatnya. Program dasar inilah yang kita sebut potensi diri, atau hukum Allah (sunnatullah). Setiap manusia mempunyai program dasar yang sama dengan variasi ada yang dilebihkan dikit ada yang dikurangi dikit. Ibaratnya semua kalkulator pasti punya program dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Kalau tidak ada program dasar itu ya tidak layak disebut kalkulator normal. Demikian pula setiap manusia telah diberi program dasar ‘kemanusiaan’ yang membuatnya layak disebut manusia.

Nah, seperti halnya kalkulator, ternyata selain punya program dasar yang sama, atribut tambahannya bias berbeda-beda. Ada kalkulator yang cukup dengan tombol-tombol sederhana, ada yang dirancang khusus dengan tombol-tombol istimewa misalnya tombol kuadrat, akar, sin cos, dan lainnya. Nah dengan adanya perbedaan ini maka kecepatan kalkulator untuk mengerjakan sesuatu berbeda-beda. Misalnya bagi kalkulator sederhana untuk menghitung 3x3 perlu empat langkah yaitu pijit angka 3, pijit ‘x’, pijit 3 lagi, dan pijit ‘=’. Untuk kalkulator yang punya tombol kuadrat cukup dua langkah, yaitu pijit 3, lalu tombol kuadrat. Hasilnya sama, tapi kecepatannya beda.

Demikian halnya dengan keunikan kita masing-masing, untuk mencapai prestasi yang sama bagi setiap orang mungkin dibutuhkan ikhtiar yang beda jalannya dan beda kesulitannya. Ada yang pintar olahraga, akan mudah untuk main basket tapi belum tentu mudah mengerjakan matematika. Kita menyebutnya kecerdasan atau bakat yang berbeda. Namun kalau mau terus berusaha, yang tidak jago matematika tetap bisa mengerjakan soal matematika walaupun perlu usaha lebih keras, jalan lebih berliku, dan ketekunan. Bagi yang jago matematika, dia bisa mengerjakannya dalam sekejap, laksana pijit tombol kuadrat di kalkulator.

Selain keunikan yang sudah diberikan Allah kepada masing-masing diri kita, masih diperlukan ilmu untuk melakukan usaha dengan benar. Ini ibarat memijit tombol kalkulator dengan tombol yang benar dan urutan yang benar. Andai kita punya kemampuan laksana kalkulator yang canggih, tapi tidak pernah memijit tombol atau keliru memijit tombol, hasilnya juga akan salah. Lebih saying lagi bila punya kemampuan tapi tidak tahu bahwa punya kemampuan, ibarat kalkulator punya tombol kuadrat tapi tidak tahu kalau ada, atau tidak tahu cara pakainya.

Yang lebih ironis lagi ada orang yang salah pijit tombol ‘off’ alias mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri atau melakukan hal yang mencelakakan dirinya. Itulah mengapa orang yang bunuh diri itu berdosa, karena kematian jenis seperti itu adalah kematian yang mengandung ‘ikhtiar’ dari pelaku. Sebenarnya, seperti kalkulator juga, tanpa pijit tombol ‘off’ pun kelak si kalkulator akan mati sendiri, yaitu karena kehabisan batere!

Analogi pak Agus ini menurut saya cukup bagus untuk menjelaskan konsep takdir secara sederhana. Hasil kita di dunia ini adalah kombinasi antara potensi yang diberikan Allah (disebut qadla), kemudian berinteraksi dengan usaha kita (laksana memilih tombol yang dipijit, ini terserah pengguna dan bergantung ilmunya), maka hasilnya tak pernah akan keluar dari ketetapan Allah, laksana himpunan hasil yang mungkin dikeluarkan kalkulator pasti sudah diketahui oleh pembuatnya.

Demikianlah ketetapan tentang takdir. Allah sudah menetapkan takdir bagi kita dalam bentuk potensi, hukum sunnatullah, dan Allah pun memberikan kepada manusia kebebasan untuk memilih akan diapakan ‘kalkulator’ yang telah dikaruniakan kepada kita dalam hidup ini.

khairulu Silahkan beri komentar ya..., tanya, kritik, atau menambah ...
Komentar Anda akan turut menyempurnakan ilmu kami, dan berharga buat pembaca lainnya. Tks! - khairul -

Senin, 05 November 2007

Takdir Manusia (3/3)

TAKDIR
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran
yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya,
tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu ukuran atau
batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak
mampu melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya
untuk menciptakan satu alat, namun akalnya pun, mempunyai
ukuran yang tidak mampu dilampaui. Di sisi lain, manusia
berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita
lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah
mempunyai kadar dan ukuran tertentu. Hanya saja karena
hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan
memilih -tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka
kita dapat memilih yang mana di antara takdir yang
ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih. Api
ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan
kesejukan atau dingin; itu takdir Tuhan -manusia boleh
memilih api yang membakar atau angin yang sejuk. Di sinilah
pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjuk
Ilahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:

"Wahai Allah, jangan engkau biarkan aku sendiri (dengan
pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap."

Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi
wabah, Umar ibn Al-Khaththab yang ketika itu bermaksud
berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika
itu tampil seorang bertanya:

"Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?"

Umar r.a. menjawab,

"Saya lari/menghindar dan takdir Tuhan kepada takdir-Nya
yang lain."

Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di
satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat
lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti
pertanyaan di atas. Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinya
dengan jawaban Khalifah Umar r.a. Rubuhnya tembok,
berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang
telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia
akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga
adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari
marabahaya maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah
menganugerahkan manusia kemampuan memilah dan memilih?
Kemampuan ini pun antara lain merupakan ketetapan atau
takdir yang dianugerahkan-Nya Jika demikian, manusia tidak
dapat luput dari takdir, yang baik maupun buruk. Tidak
bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebut
takdir, karena yang positif pun takdir. Yang demikian
merupakan sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangan
dengan petunjuk Nabi Saw.,' "... dan kamu harus percaya
kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk." Dengan
demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak
menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya
sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi

Apakah Takdir Merupakan Rukun Iman?

Perlu digarisbawahi bahwa dari sudut pandang studi Al-Quran,
kewajiban mempercayai adanya takdir tidak secara otomatis
menyatakannya sebagai satu di antara rukun iman yang enam.
Al-Quran tidak menggunakan istilah "rukun" untuk takdir,
bahkan tidak juga Nabi Saw. dalam hadis-hadis beliau.
Memang, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak
pakar hadis, melalui sahabat Nabi Umar ibn Al-Khaththab,
dinyatakan bahwa suatu ketika datang seseorang yang
berpakaian sangat putih, berambut hitam teratur, tetapi
tidak tampak pada penampilannya bahwa ia seorang pendatang,
namun, "tidak seorang pun di antara kami mengenalnya."
Demikian Umar r.a. Dia bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan,
dan saat kiamat serta tanda-tandanya. Nabi menjawab antara
lain dengan menyebut enam perkara iman, yakni percaya kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-
rasulNya, hari kemudian, dan "percaya tentang takdir-Nya
yang baik dan yang buruk." Setelah sang penanya pergi, Nabi
menjelaskan bahwa,

"Dia itu Jibril, datang untuk mengajar kamu, agama kamu."

Dari hadis ini, banyak ulama merumuskan enam rukun Iman
tersebut.

Seperti dikemukan di atas, Al-Quran tidak menggunakan kata
rukun, bahkan Al-Quran tidak pernah menyebut kata takdir
dalam satu rangkaian ayat yang berbicara tentang kelima
perkara lain di atas. Perhatikan firman-Nya dalam surat
Al-Baqarah (2): 285,

"Rasul percaya tentang apa yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian juga orang-orang Mukmin. Semuanya percaya
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian."

Dalam QS Al-Nisa' (4): 136 disebutkan:

"Wahai orang-orang yang beriman, (tetaplah) percaya kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan kepada kitab yang diturunkan kepada
Rasul-Nya, dan kitab yang disusunkan sebelum (Al-Quran).
Barangsiapa yang tidak percaya kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudiam, maka
sesungguhnya dia telah sesat sejauh-jauhnya."

Bahwa kedua ayat di atas tidak menyebutkan perkara takdir,
bukan berarti bahwa takdir tidak wajib dipercayai. Tidak!
Yang ingin dikemukakan ialah bahwa Al-Quran tidak
menyebutnya sebagai rukun, tidak pula merangkaikannya dengan
kelima perkara lain yang disebut dalam hadis Jibril di atas.
Karena itu, agaknya dapat dimengerti ketika sementara ulama
tidak menjadikan takdir sebagai salah satu rukun iman,
bahkan dapat dimengerti jika sementara mereka hanya menyebut
tiga hal pokok, yaitu keimanan kepada Allah, malaikat, dan
hari kemudian. Bagi penganut pendapat ini, keimanan kepada
malaikat mencakup keimanan tentang apa yang mereka sampaikan
(wahyu Ilahi), dan kepada siapa disampaikan, yakni para Nabi
dan Rasul.

Bahkan jika kita memperhatikan beberapa hadis Nabi,
seringkali beliau hanya menyebut dua perkara, yaitu percaya
kepada Allah dan hari kemudian.

"Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka
hendaklah ia menghormati tamunya. Siapa yangpercaya kepada
Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menyambung tali
kerabatnya. Siapa yang percaya kepada Allah dan hari
kemudian, maka hendaklah ia berkata benar atau diam."

Demikian salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim melalui Abu Hurairah.

Al-Quran juga tidak jarang hanya menyebut dua di antara
hal-hal yang wajib dipercayai. Perhatikan misalnya surat
Al-Baqarah (2): 62,

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi
zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau
dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh,
maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan
mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga
mereka akan bersedih."

Ayat ini tidak berarti bahwa yang dituntut dari semua
kelompok yang disebut di atas hanyalah iman kepada Allah dan
hari kemudian, tetapi bersama keduanya adalah iman kepada
Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir. Bahkan ayat
tersebut dan semacamnya hanya menyebut dua hal pokok, tetapi
tetap menuntut keimanan menyangkut segala sesuatu yang
disampaikan oleh Rasulullah Saw., baik dalam enam perkara
yang disebut oleh hadis Jibril di atas, maupun perkara
lainnya yang tidak disebutkan.

Demikianlah pengertian takdir dalam bahasa dan penggunaan
Al-Quran.

Takdir (2/3)

Takdir dalam Bahasa Al-Quran

Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari
akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi
kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah
menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah
memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau
kemampuan maksimal makhluk-Nya."

Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua
makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak
dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. menuntun
dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju.
Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat
Al-A'la (Sabihisma),

"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan
(semua mahluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir
kemudian mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3).

Karena itu ditegaskannya bahwa:

"Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah
takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi
Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38).

Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat di
atas:

"Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah
yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang
tua" (QS Ya Sin [36]: 39)

Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhan
atasnya,

"Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia
menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan
sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).

"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah
khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali
dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21).

Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir.
Lanjutan ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebut
contoh, yakni rerumputan.

"Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, lalu
dijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS
Sabihisma [87]: 4-53)

Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia
layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya,
kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt., melalui
hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti
jika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, maka
siramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpa
pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pasti
ia akan mati kering kehitam-hitaman atau ghutsan ahwa
seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau
seluruh makhluk-Nya. Walhasil,

"Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya" (QS
Al-Thalaq [65]: 3)

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi
kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat
dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak
ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan
ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat
disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering
secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."

Penulis tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah
dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh
Al-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku
bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum
kemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Al-Quran
"sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina"
sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya
mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada
masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33): 38, 62 atau
Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.

Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan
oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar,

"Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka
atau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengar
penuh ketaatan."

Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan
"keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."

Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia? Tampaknya
tidak sepenuhnya sama.

(bersambung ke 3/3)

Takdir (1/3)

Takdir (1/3)


Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan  menggantikan  Khalifah  IV,
Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah
seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah menanyakan,
"Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai shalat?" Ia
memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah,

"Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai
Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri,
tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi,
tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber
dari-Mu (HR Bukhari).

Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan bahwa segala
sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia
sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai oleh
banyak pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doa
itu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenangan
pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis
Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam
Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).

Tentu saja, pandangan tersebut tidak diterima oleh
kebanyakan ulama. Ada yang demikian menggebu menolaknya
sehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan
la qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas melakukan apa
saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia
kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum
kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah
sendiri menegaskan,

"Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang
hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29).

Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannya
sendiri-sendiri. Namun demikian, pandangan ini juga
disanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah.
Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah

"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan" (QS
Al-Shaffat [37]: 96).

Tidakkah ayat ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang
kita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya
bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,

"Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapatterlaksana) kecuali
dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).

Demikian sedikit dari banyak perdebatan yang tak kunjung
habis di antara para teolog. Masing-masing menjadikan
Al-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yang
mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.

Kemudian didukung oleh penguasa yang ingin mempertahankan
kedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalam
berbagai bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua di
atas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya

Yang jelas, Nabi dan sahabat-sahabat utama beliau, tidak
pernah mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan oleh para
teolog itu. Mereka sepenuhnya yakin tentang takdir Allah
yang menyentuh semua makhluk termasuk manusia, tetapi
sedikit pun keyakinan ini tidak menghalangi mereka
menyingsingkan lengan baju, berjuang, dan kalau kalah
sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada Allah.
Sikap Nabi dan para sahabat tersebut lahir, karena mereka
tidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat demi
ayat, atau sepotong-sepotong terlepas dari konteksnya,
tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana diajarkan oleh
Rasulullah Saw.

(bersambung ke 2/3)

Rabu, 31 Oktober 2007

Hadist from Al Islam.com

Halaman Utama > Hadis > HADIS-HADIS NABI > Ucapan Salam
Pengendara sepatutnya mengucapkan salam kepada pejalan kaki dan kelompok yang beranggota lebih ...
Di antara hak muslim terhadap muslim lain adalah menjawab salam
Larangan memulai salam kepada Ahli Kitab dan cara menjawab salam mereka
Mengucapkan salam kepada anak kecil
Wanita boleh keluar untuk memenuhi kebutuhan manusia
Haram berduaan dengan lawan jenis dan menemuinya
Menerangkan bahwa bagi orang yang terlihat berduaan dengan seorang perempuan sedangkan perempuan ...
Orang yang datang ke suatu majlis dan menemukan tempat kosong, dia boleh duduk di sana, bila ...
Haram mengusir orang dari tempat duduknya untuk diambil alih
Larangan bagi lelaki banci (waria) masuk menemui wanita lain
Boleh memboncengkan wanita lain yang kepayahan di jalan
Haram dua orang berbisik-bisik tanpa menyertakan orang ketiga dengan tidak mendapatkan r ...
Berobat, sakit dan menjampi
Sihir
Racun
Anjuran menjampi orang sakit
Menjampi orang sakit dengan bacaan jampi yang disyariatkan dan dengan meniupkannya
Diizinkan menjampi sakit mata, luka di lambung, terkena racun dan sakit akibat dihipnotis ...
Boleh mengambil bayaran atas jampian dengan Alquran dan bacaan zikir
Setiap penyakit ada obatnya dan anjuran untuk berobat
Makruh berobat dengan ladud (obat yang diletakkan pada salah satu sisi mulut seseorang)
Berobat dengan jintan hitam
Bubur talbinah itu dapat menguatkan hati orang yang sakit
Berobat dengan cara meminum madu
Wabah penyakit, pesimisme, perdukunan dan sebagainya
Tidak ada penularan tanpa kehendak Allah, tidak ada nasib sial, tidak ada reinkarnasi sebagai ...
Tanda kenahasan dan optimisme dan perkara yang menimbulkan pesimisme
Pengharaman pedukunan dan mendatangi seorang dukun
Membunuh ular dan lainnya
Anjuran membunuh cecak
Larangan membunuh semut
Haram membunuh kucing
Keutamaan memberi makan dan minum kepada binatang ternak yang mulia

Jumat, 26 Oktober 2007

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA


"Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha-suci Allah Tuhan semesta alam." (QS. Al A'raaf, 7:54)


"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada atara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka." (QS. Shaad, 38: 27)

"Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya. Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya." (QS. An-Naazi'aat, 79: 27-30)

"Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)." (QS. An-Nahl, 16: 12)
"Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, dan masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari." (QS. Faathir, 35: 13)

Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah.

Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah yang telah bertahan sepenuhnya utuh, Al Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, di samping bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-20, meskipun diungkapkan 14 abad yang lalu.

Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut:

"Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu." (QS. Al An'aam, 6: 101)

Aspek penting lain yang diungkapkan dalam Al Quran empat belas abad sebelum penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah bahwa ketika diciptakan, alam semesta menempati volume yang sangat kecil:

"Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al Anbiyaa', 21: 30)

Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata yang sangat penting dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" yang berarti "bercampur, bersatu" dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa "Kami pisahkan" diterjemahkan dari kata kerja bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi dengan memisahkan atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan yang menggunakan kata kerja ini.


PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA


"Sesungguhnya Tuhan kamu adalah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arasy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan, dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha-suci Allah Tuhan semesta alam." (QS. Al A'raaf, 7:54)


"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada atara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka." (QS. Shaad, 38: 27)

"Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya. Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya." (QS. An-Naazi'aat, 79: 27-30)

"Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)." (QS. An-Nahl, 16: 12)
"Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, dan masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari." (QS. Faathir, 35: 13)

Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah.

Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah yang telah bertahan sepenuhnya utuh, Al Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, di samping bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-20, meskipun diungkapkan 14 abad yang lalu.

Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut:

"Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu." (QS. Al An'aam, 6: 101)

Aspek penting lain yang diungkapkan dalam Al Quran empat belas abad sebelum penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah bahwa ketika diciptakan, alam semesta menempati volume yang sangat kecil:

"Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al Anbiyaa', 21: 30)

Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata yang sangat penting dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" yang berarti "bercampur, bersatu" dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa "Kami pisahkan" diterjemahkan dari kata kerja bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi dengan memisahkan atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan yang menggunakan kata kerja ini.


PENCIPTAAN ALAM SEMESTA

PENCIPTAAN ALAM SEMESTA


"Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan apa yang ada atara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka." (QS. Shaad, 38: 27)

"Apakah kamu yang lebih sulit penciptaannya ataukah langit? Allah telah membangunnya. Dia meninggikan bangunannya lalu menyempurnakannya. Dan Dia menjadikan malamnya gelap gulita dan menjadikan siangnya terang benderang. Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya." (QS. An-Naazi'aat, 79: 27-30)

"Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya)." (QS. An-Nahl, 16: 12)
"Dia memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam dan menundukkan matahari dan bulan, dan masing-masing berjalan menurut waktu yang ditentukan. Yang (berbuat) demikian itulah Allah Tuhanmu, kepunyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tiada mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari." (QS. Faathir, 35: 13)

Kebenaran yang dipertahankan oleh sumber-sumber agama adalah realitas penciptaan dari ketiadaan. Ini telah dinyatakan dalam kitab-kitab suci yang telah berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi manusia selama ribuan tahun. Dalam semua kitab suci seperti Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan Al Quran, dinyatakan bahwa alam semesta dan segala isinya diciptakan dari ketiadaan oleh Allah.

Dalam satu-satunya kitab yang diturunkan Allah yang telah bertahan sepenuhnya utuh, Al Quran, ada pernyataan tentang penciptaan alam semesta dari ketiadaan, di samping bagaimana kemunculannya sesuai dengan ilmu pengetahuan abad ke-20, meskipun diungkapkan 14 abad yang lalu.

Pertama, penciptaan alam semesta dari ketiadaan diungkapkan dalam Al Quran sebagai berikut:

"Dia pencipta langit dan bumi. Bagaimana Dia mempunyai anak padahal Dia tidak mempunyai istri. Dia menciptakan segala sesuatu dan Dia mengetahui segala sesuatu." (QS. Al An'aam, 6: 101)

Aspek penting lain yang diungkapkan dalam Al Quran empat belas abad sebelum penemuan modern Dentuman Besar dan temuan-temuan yang berkaitan dengannya adalah bahwa ketika diciptakan, alam semesta menempati volume yang sangat kecil:

"Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan daripada air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?" (QS. Al Anbiyaa', 21: 30)

Terjemahan ayat di atas mengandung pemilihan kata yang sangat penting dalam bahasa aslinya, bahasa Arab. Kata ratk diterjemahkan sebagai "suatu yang padu" yang berarti "bercampur, bersatu" dalam kamus bahasa Arab. Kata itu digunakan untuk merujuk dua zat berbeda yang menjadi satu. Frasa "Kami pisahkan" diterjemahkan dari kata kerja bahasa Arab, fatk yang mengandung makna bahwa sesuatu terjadi dengan memisahkan atau menghancurkan struktur ratk. Tumbuhnya biji dari tanah adalah salah satu tindakan yang menggunakan kata kerja ini.


Rabu, 24 Oktober 2007

KHALIFAH DI BUMI - DARIPADA ADAM KE

http://ibnuabbas.wordpress.com

KHALIFAH DI BUMI - DARIPADA ADAM KE GENERASI SETERUSNYA

Oleh DR. ZULKIFLI BIN MOHAMAD AL-BAKRI


KURNIAAN Allah dan limpahan rahmat serta nikmat terhadap hamba-Nya bermula daripada penciptaan sehinggalah penguasaan mereka terhadap segala yang ada di bumi. Lantas Allah mengiringi ayat seterusnya berhubung dengan mukadimah penciptaan Adam.

Begitu juga kurniaan ke atas mereka, iaitu kemuliaan yang diberikan kepada Adam a.s. dengan menjadikannya sebagai khalifah dan meletakkannya di negeri yang penuh kemuliaan, di samping arahan kepada semua malaikat untuk bersujud kepadanya sebagai lambang kemuliaan dan penghormatan.Justeru amatlah munasabah Allah mengingatkan mereka dengan segala nikmat tersebut yang dikurniakan-Nya kepada mereka.

DAN (INGATLAH) KETIKA TUHANMU BERFIRMAN KEPADA MALAIKAT: “SESUNGGUHNYA AKU HENDAK MENJADIKAN SEORANG KHALIFAH DI BUMI.” MEREKA BERTANYA (TENTANG HIKMAT KETETAPAN TUHAN ITU DENGAN BERKATA): “ADAKAH ENGKAU (YA TUHAN KAMI) HENDAK MENJADIKAN DI BUMI ITU ORANG YANG AKAN MEMBUAT BENCANA DAN MENUMPAHKAN DARAH (BERBUNUH-BUNUHAN), PADAHAL KAMI SENTIASA BERTASBIH DENGAN MEMUJI-MU DAN MENSUCIKAN-MU?” TUHAN BERFIRMAN: “SESUNGGUHNYA AKU MENGETAHUI AKAN APA YANG KAMU TIDAK MENGETAHUINYA.

(Al-Baqarah ayat 30)

v `Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat’. Ingatlah ketika dan waktu memberi dua maksud. Syeikh al-Mubarrad berkata: “Jika perkataan `iz’ yang bermaksud (Ingatlah) diletakkan sebelum fi`il mudhari’ (perbuatan yang sedang dan akan berlaku), ia memberi pengertian perkara yang sudah berlaku. Sebaliknya jika `iza’ yang membawa maksud (apabila) diletakkan sebelum fi`il madhi (perbuatan yang telah lepas) perkara itu merujuk kepada perkara yang akan datang.”

Syeikh Muhammad at-Tohir atau lebih dikenali sebagai Ibn A’syur melalui kitabnya, At-Tahrir wa at-Tanwir menyatakan bahawa `iz’ daripada nama-nama masa yang kesamaran menunjukkan kepada masa lampau. Ayat ini mengingatkan kepada Nabi Muhammad mengenai firman Allah kepada malaikat tentang kejadian Adam untuk diceritakan kepada kaumnya.

Malaikat sebagaimana kata Ibn Hajar al-`Asqalani: “Malaikat adalah bentuk jama’ (banyak atau ramai) daripada kata `malak’. Perkataan malaikat diambil daripada akar kata `al-Ulukah’ iaitu `ar-Risalah’ yang ertinya utusan atau pesuruh.” Inilah pendapat Sibawaih dan jumhur ulama.

Dan berkata jumhur ahli kalam dari kalangan umat Islam: “Malaikat adalah jisim halus yang diberikan oleh Allah kudrat (kemampuan) merubah diri dalam pelbagai bentuk, dan tempat tinggal mereka adalah di langit.”

Malaikat adalah makhluk ghaib yang mempunyai jisim nurani yang sangat halus dan mereka tidak dapat dilihat dalam keadaan biasa, tetapi Allah memberikan kemampuan bertukar pelbagai bentuk jasmani yang boleh dilihat oleh manusia, mempunyai kekuatan yang luar biasa, dan mereka sangat hampir kepada Allah, mematuhi-Nya dan tidak pernah menderhaka kepada-Nya, tidak berkahwin dan tidak mempunyai zuriat, tidak makan dan tidak minum.

Mulia

Mereka adalah hamba-hamba Allah yang mulia, membawa risalah Allah kepada semesta alam, menunaikan tugas

masing-masing dengan cemerlang di atas ketentuan Allah.

Ibn Jauzi di dalam Zad al-Masir berkata: “Terdapat dua pendapat tentang malaikat: Pertama, semua malaikat. Inilah pendapat as-Suddi daripada guru-gurunya. Kedua, mereka yang bersama iblis ketika diturunkan ke bumi. Inilah yang disebut oleh Abu Soleh daripada Ibn Abbas.

v `Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi’. Terdapat enam pandangan ulama berhubung perkhabaran Allah kepada malaikat mengenai kejadian Adam a.s: Pertama, Allah Maha Mengetahui wujudnya sifat takbur pada diri iblis. Justeru itu Dia mahu supaya malaikat mengetahuinya dan menzahirkan dalam ilmu-Nya. Yang demikian ini adalah riwayat ad-Dahhak daripada Ibn Abbas dan as-Suddi daripada guru-gurunya.

Kedua, untuk menguji ketaatan malaikat. Ia sebagaimana yang dikatakan oleh al-Hasan. Ketiga, tatkala diciptakan neraka, nescaya takutlah malaikat seraya bertanya: “Hai Tuhan kami, untuk siapakah Kamu ciptakan ini?” Jawab Allah: “Untuk penderhaka kepada-Ku.” Lantas mereka takut untuk melakukan maksiat, sedangkan mereka tidak mengetahui kewujudan makhluk selain mereka. Inilah pendapat Ibn Zaid.

Keempat, Allah hendak menzahirkan kelemahan malaikat daripada penguasaan ilmu. Kelima, Allah hendak mengagungkan Adam a.s. dengan menyebutnya sebagai khalifah sebelum wujudnya lagi. Keenam, Allah hendak memberitahu malaikat bahawa ciptaan-Nya adalah penghuni bumi sekalipun ada ciptaan-Nya di langit. Semua pendapat ini dinyatakan oleh Ibn Jauzi di dalam kitabnya Zad al-Masir.

Inilah kenyataan Allah untuk menjadikan makhluk yang bernama manusia bermula dengan Adam a.s. memegang tampuk amanah sebagai khalifah Allah di bumi. Ahli bahasa Arab berpendapat, khalifah ialah orang yang menggantikan orang lain dan mengambil tempatnya. Diwazankan di atas wazan fai’il dengan makna fa`il (pelaku). Wujudnya `ta’ di belakangnya (khalifah) sebagai tanda mubalaghah. Dinamakan khalifah itu kerana bertanggungjawab menggantikan daripada Allah segala perlaksanaan

hukum-hakam dan juga arahan-arahan Allah.

Al-Imam al-Mawardi di dalam mukadimah kitabnya, al-Ahkam as-Sultaniah mendefinisikan imamah sebagai tajuk atau tempat bagi menggantikan kenabian dalam urusan memelihara agama dan bersiasah dengannya. Justeru dapat difahami bahawa khalifah ini terpikul kepada Adam a.s., juga keturunannya daripada satu generasi kepada generasi seterusnya.

Di dalam kitab An-Nukat wa Al-Uyun pada khilafah Adam dan zuriatnya, terdapat tiga pandangan: Pertama, tatkala penghuni bumi iaitu jin merosakkan bumi dengan maksiat, lantas digantikan Adam dan zuriatnya.

Inilah pendapat Ibn Abbas. Kedua, bahawa dikehendaki kaum yang menggantikan sebahagian mereka daripada yang lain pada menegakkan kebenaran dan memakmurkan bumi. Inilah pendapat Hasan al-Basri. Ketiga, Allah hendak menjadikan khalifah di bumi yang menggantikannya dalam melaksanakan hukum. Inilah pendapat Ibn Mas`ud.

Isyarat

Sebahagian ulama berpendapat, perkhabaran Allah kepada malaikat tentang

ciptaan Adam dan menjadikannya khalifah di bumi, sebagai isyarat dan pengajaran kepada manusia supaya melaksanakan sistem syura dalam urusan mereka, sebelum melaksanakan sesuatu perancangan. Ini akan membuahkan hasil yang baik.

v `Mereka bertanya (tentang hikmat ketetapan Tuhan itu dengan berkata): Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah (berbunuh-bunuhan)?’ Pertanyaan malaikat ini bagi menunjukkan kehairanan dan rasa ingin tahu, bukan mengingkari atau membangkang ketentuan Allah s.w.t. Seolah-olah mereka berkata, “Bagaimana mungkin Tuhan menciptakan makhluk yang bernama manusia bersifat merosakkan dan membuat bencana di muka bumi di samping berbunuh-bunuhan.”

Sebahagian ulama menyatakan bahawa persoalan ini timbul kerana Allah telah mencipta jin sebelum manusia untuk menghuni dunia tetapi mereka melakukan beraneka maksiat dan penderhakaan kepada Allah. Hafiz Ibn Kathir berkata, “Ucapan malaikat `Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan membuat bencana dan menumpahkan darah (berbunuh-bunuhan)’, bukan kerana bangkangan terhadap Allah dan bukan juga kerana hasad dengki kepada Bani Adam. Sebaliknya semata-mata pertanyaan untuk mengetahui hakikat hikmah pada penciptaan tersebut.

Atas dasar inilah persoalan tersebut diajukan, lantas mereka menyebut perihal sifat mereka, `Padahal kami sentiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan mensucikan-Mu?’ Ulama berkata, tasbih bermakna membersihkan Allah daripada segala yang tidak baik. Sebagaimana riwayat Talhah bin Ubaidillah katanya: “Aku telah bertanya Rasulullah s.a.w. tentang tafsir `subhanallah’.” Sabda Rasulullah s.a.w.: Iaitu membersihkan Allah azza wajalla daripada setiap keburukan.

Asal kalimah tasbih daripada perkataan `as-sabh’ iaitu berjalan, mengalir dan pergi. Dalam erti kata yang lain, orang yang bertasbih sentiasa berjalan pada menyucikan Allah. Terdapat empat pandangan ulama pada pengertian tasbih: Pertama, ia bererti solat. Inilah pendapat Ibn Mas`ud dan Ibn Abbas. Kedua, ucapan Subhanallah. Inilah pendapat Qatadah. Ketiga, iaitu membesar dan memuji. Inilah pendapat Abu Soleh. Keempat, rendah diri dan perasaan hina kepada Allah. Inilah pendapat Muhammad bin al-Qasim al-Anbari.

Adapun taqdis pula dengan makna mensucikan Allah, berlawanan dengan tanjis iaitu menajiskan. Dikatakan bumi muqaddasah iaitu disucikan, begitu juga ruh al-Qudus (roh yang suci) iaitu malaikat. Justeru maksud taqdis Allah ialah memuji, mengagungkan dan mensucikan-Nya daripada apa yang tidak layak dengan-Nya.

Seterusnya jawapan yang diberikan oleh Allah seperti berikut: Tuhan berfirman, sesungguhnya Aku mengetahui akan apa yang kamu tidak mengetahuinya. Ibn Jarir di dalam tafsirnya, at-Tabari berkata: “Ulama telah khilaf berhubung maksud tafsiran ayat ini, sama ada pengetahuan Allah terhadap iblis, maksiatnya di samping sifat takbur yang disembunyikannya. Iaitu Aku Maha Mengetahui segala kemaslahatan yang tersembunyi daripadamu, dan aku mempunyai pengetahuan hikmah pada penciptaan khalifah yang kamu tidak mengetahuinya.

Glosari :

v Wazan: Timbangan mengikut istilah ulama saraf (Bahasa Arab ).

v Mubalaghah: Melampau, lebih atau utama.

v Khalifah: Pemerintah .

v Khilafah: Pemerintahan.

Makna Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi


Artikel / Tafsir

Makna Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi
http://www.perpustakaan-islam.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=155
28/09/2006 6338 clicks Printable Version

Allah berfirman kepada para malaikat ketika akan menciptakan Adam, ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi''. (Al-Baqarah:30). Banyak kaum muslimin yang keliru dalam memahami ayat ini, yakni sebagai wakil/pengganti Allah dalam mengurus bumi. Makna khalifah yang benar adalah kaum yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, demikian penjelasan dalam ringkasan Tafsir Ibnu Katsier

''Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'' Mereka berkata: ''Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?''. Tuhan berfirman: ''Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui''(Al-Baqarah:30)

Allah Ta'ala memberitahukan ihwal pemberian karunia kepada Bani Adam dan penghormatan kepada mereka dengan membicarakan mereka di al-Mala'ul Ala, sebelum mereka diadakan. Maka Allah berfirman, ''Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat''. Maksudnya, Hai Muhammad, ceritakanlah hal itu kepada kaummu'', ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi'', yakni suatu kaum yang akan menggantikan satu sama lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman, ''Dialah yang menjadikan kamu sebagai khalifah-khalifah di bumi'' (Fathir: 39). Itulah penafsiran khalifah yang benar, bukan pendapat orang yang mengatakan bahwa Adam merupakan khalifah Allah di bumi dengan berdalihkan firman Allah, ''Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.''

Abdur Razaq, dari Muammar, dan dari Qatadah berkata berkaitan dengan firman Allah, ''Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi orang yang akan membuat kerusakan padanya'', Seolah-olah malaikat memberitahukan kepada Allah bahwa apabila di bumi ada makhluk, maka mereka akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah di sana. Perkataan malaikat ini bukanlah sebagai bantahan kepada Allah sebagaimana diduga orang, karena malaikat disifati Allah sebagai makhluk yang tidak dapat menanyakan apa pun yang tidak diizinkan-Nya.

Ibnu Juraij berkata bahwa sesungguhnya para malaikat itu berkata menurut apa yang telah diberitahukan Allah kepadanya ihwal keadaan penciptaan Adam. Maka malaikat berkata, ''Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu oranig yang akan membuat kerusakan padanya?''.

Ibnu Jarir berkata, ''Sebagian ulama mengatakan, 'Sesungguhnya malaikat mengatakan hal seperti itu, karena Allah mengizinkan mereka untuk bertanya ihwal hal itu setelah dibentahukan kepada mereka bahwa khalifah itu terdiri atas keturunan Adam. Mereka berkata, ''Mengapa Engkau hendak menjadikan orang yang akan membuat kerusakan padanya?'' Sesungguhnya mereka bermaksud mengatakan bahwa di antara keturunan Adam itu ada yang melakukan kerusakan. Pertanyaan itu bersifat meminta informasi dan mencari tahu ihwal hikmah. Maka Allah berfirman sebagai jawaban atas mereka, Allah berkata, ''Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui,'' yakni Aku mengetahui kemaslahatan yang baik dalam penciptaan spesies yang suka melakukan kerusakan seperti yang kamu sebutkan, dan kemaslahatan itu tidak kamu ketahui, karena Aku akan menjadikan di antara mereka para nabi, rasul, orang-prang saleh, dan para wali.

Syaikh Muhammad Nasib Ar-Rifa’i berkata dalam ringkasan Tafsir Ibnu Katsiernya :
Saya berpendapat bahwa konsep khalifah mengharuskan secara pasti tiadanya pihak yang digantikan, baik tiadanya itu secara total atau hanya sebagian, baik tiadanya itu karena kematian, perpindahan, dicopot, mengundurkan diri, atau karena sebab lain yang membuat pihak yang digantikan tidak dapat melanjutkan aktivitasnya. Misalnya Anda berkata: ''Abu Bakar merupakan khalifah Rasulullah shalallahu wa’alaihi wa sallam'' yakni setelah Rasul meninggal. Atau Anda berkata: ''Rasulullah menjadikan Ali sebagai khalifah di Madinah,'' yaitu ketika Nabi shalallahu wa’alaihi wa sallam pergi dari Madinah untuk melakukan salah satu perang. Bila konsep ini telah jelas dan melahirkan kepuasan, maka orang yang merasa puas tadi akan menemukan kekeliruan pendapat orang yang mengatakan bahwa Adam dijadikan Allah sebagai khalifah-Nya di bumi. Kekeliruan itu disebabkan oleh hal-hal berikut ini.
  1. Adalah mustahil tiadanya Allah dari kerajaan-Nya, baik secara total maupun sebagian. Dia senantiasa mengurus langit dan bumi dan tidak ada suatu perkara seberat Dzarrah pun yang ada di langit dan di bumi yang terlepas dari pengetahuan-Nya. Jadi, Dia tidak membutuhkan khalifah, wakil, pengganti, dan tidak pula butuh kepada pihak yang ada di dekat-Nya. Dia Mahakaya dari semesta alam.


  2. Jika keberadaan Adam atau jenis manusia itu layak untuk menggantikan Allah, maka dia harus memiliki sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Allah Ta'ala, dan Mahasuci Allah dari sifat-sifat yang dapat diserupai manusia. Jika manusia, sebagaimana seluruh makhluk lainnya, tidak menyandang sifat-sifat yang menyerupai sifat-sifat Allah, bahkan makhluk tidak memilikinya, sedangkan Allah Maha Sempurna pada seluruh sifat-Nya, maka terjadilah ketidaksamaan secara total. Maka bagaimana mungkin orang yang berkekurangan menggantikan pihak Yang Mahas Sempurna? Maha Suci Allah dari adanya pihak yang menandingi dan menyerupai. ''Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.'' (asy-Syuura: 11)


  3. Adalah sudah pasti bahwa manusia tidak layak menjadi khalifah atau wakil Allah, bahkan hal sebaliknyalah yang benar, yaitu Allah sebagai khalifah dan wakil. Simaklah beberapa firman berikut ini. ''Cukuplah Allah menjadi Wakil (Penolong) kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung''(Ali Imran: 173). ''Dan Allah Maha Mewakili segala sesuatu.''(Hud: 12). ''Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)-nya.''(At-Thalaq: 3). ''Dan cukuplah Allah sebagai Wakil''(An-Nisa': 81) Dalam hadits mengenai doa bepergian, Nabi shalallahu wa’alaihi wa sallam bersabda, ''Ya Allah, Engkaulah yang menyertai perjalanan dan yang menggantikan dalam mengurus keluarga (yang ditinggalkan)''


  4. Tidak ada satu dalil pun, baik yang eksplisit, implisit, maupun hasil inferensi, baik di dalam Al-Qur'an maupun Sunnah yang menyatakan bahwa manusia merupakan khalifah Allah di burni, karena Dia berfirman, ''Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah di bumi''. Ayat ini jangan dipahami bahwa Adam ‘alaihis salam adalah khalifah Allah di bumi, sebab Dia bertirman, ''Sesungguhnya Aku akan menjadikan khalifah di bumi.'' Allah mengatakannya demikian, dan tidak mengatakan, ''Sesungguhnya Aku akan menjadikan, untuk-Ku, seorang khalifah di bumi'', atau Dia mengatakan, ''Sesungguhnya Aku akan menjadikan seorang khalifah bagi-Ku di bumi'', atau ''menjadikan khalifah-Ku''. Dari mana kita menyimpulkan bahwa Adam atau spesies manusia sebagai khalifah Allah di bumi? Ketahuilah, sesungguhnya urusan Allah itu lebih mulia dan lebih agung daripada itu, dan Maha Tinggi Allah dari perbuatan itu. Namun, mayoritas mufasirin mengatakan, ''Yakni, suatu kaum menggantikan kaum yang lain, kurun demi kurun, dan generasi demi generasi.''

    Ulama lain menafsirkan ayat di atas dengan ''menjadikan sebagai khalifah bagi makhluk sebelumnya yang terdiri atas jin atau makhluk lain yang mungkin berada di muka bumi yang ada sebelum spesies manusia.

    Penafsiran yang pertama adalah lebih jelas karena dikuatkan dengan AlQur'an dan Sunnah. Adapun orang yang berpandangan bahwa yang dimaksud dengan khilafah ialah khilafah dalam penetapan hukum semata, maka pandangan ini tidak dapat diterima. Karena hukum yang valid ialah yang bersumber dari wahyu yang telah ditetapkan Allah, bukan hukum si khalifah, namun hukum Allah, dan hukum itu merupakan sarana penghambaan kepada Allah. Alangkah jauhnya jarak antara ibadah dengan perwakilan dan kekhilafahan. Jadi, jelaslah bahwa orang yang menghukumi itu tiada lain hanyalah menetapkan hukum Allah, bukan inenggantikan-Nya.


Referensi:
Ringkasan Tafsir Ibnu Katsier, Syaikh Muhammad Nasib Ar-Rifa'i

Rekonstruksi Hakekat Tujuan Penciptaan Manusia

Rekonstruksi Hakekat Tujuan Penciptaan Manusia

http://jurnalistikuinsgd.wordpress.com 9 05 2007

Refleksi subyektivitas terhadap Pemahaman manusia
Oleh : Ridwan Ibnu Asikin

Dimensi waktu yang dinamis, sungguh telah mempertemukan kita kepada dinamika kehidupan yang sangat beragam dan kompleks. Dimana realita sebagian umat manusia dewasa sekarang, baik itu secara eksplisit maupun implisit sekalipun, kini benar-benar sudah tidak lagi bisa menghargai agama sebagai dogma yang mesti di aplikasikan dan di realisasikan dalam kehidupan sehari-hari melainkan agama hanya sebatas sebagai identitas yang melekat di diri.

Sejalan dengan itu, distorsi tentang pemahaman tujuan penciptaan manusia pun kini telah menjadi sebuah realitas dan wacana baru dalam tatanan kehidupan umat manusia dewasa sekarang. Hal ini bisa dilihat dari dinamika sebagian besar umat manusia yang notabene sudah mulai menisbikan dan memarginalkan ajaran agama ( baca : islam ) dari kehidupannya dan ternina bobokan oleh aksentuasi pemikiran yang berasumsi bahwa agama bukanlah sebagai panutan dalam jejak kehidupan manusia dewasa sekarang, sebagaimana yang telah dilakukan orang-orang barat yang kehidupannya lebih maju dan tertata rapi bahkan disiplin karena telah mengenyampingkan ajaran agamanya dari kehidupan sehari-hari dan berpindah kiblat ke sains dan teknologi. Jika benar, dengan begitu seolah-olah ada pengalihan juridiksi dari agama ke sains dan teknologi. Mirisnya, mereka juga kini meluncurkan apologi dan previkasi kalau agama itu tidak bisa menghargai zaman alias tidak relevan.

Kenyataan diatas sangatlah kontradiktif sekali bahkan bisa menjadi destruktif, dimana sebagian umat manusia sekarang sudah tidak lagi menjadikan agama sebagai dogma yang harus di realisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun mereka hanya menjadikan agama sebatas wacana saja dan identitas diri belaka. Hal ini patut kita pelajari sebagai acuan dasar terhadap suatu prinsip yang memegang teguh terhadap keyakinan orang-orang barat.

Jika di tinjau dalam Al qur’an tercatat historisitas manusia diciptakan oleh Allah Swt untuk menjadi pemimpin di muka bumi ini ( Khalifah fil al-ardi ) ( Qs. Al-Baqarah : 30 ). Sejatinya sebagai khalifah, manusia harus bisa mengemban amanat ini yang secara dialekta tidak di berikan kepada langit, bumi, malam, matahari begitu juga kepada hewan. Dengan begitu manusia adalah makhluk yang terbaik dari segi bentuk, fungsi dan keruwetan ( sofistikasi ) yang bahasa Al-Qur’an nya “ahsan al-taqwim” ( Qs. At-Tin : 4 ).

Mengutip perkataan Nurcholis Madjid. Sebagai khalifah maka tugas manusia adalah menyampaikan berita dari dunia ghaib agar supaya dapat difahami dan dirasakan manfaatnya oleh seluruh manusia. Tetapi karena tidak semua manusia pada prakteknya bisa menerima “pesan-pesan ilahi” ini, maka Tuhan mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk membawa kabar tersebut. Sedangkan dalam bahasa Jal al-Din Rumi yakni: “ketika kebun-kebun mawar telah musnah, kemanakah kita akan mendapatkan semerbak mawar ? Jawabnya adalah “air mawar”. Yang dimaksud oleh Rumi adalah ketika Alllah Swt yang ghaib, tidak bisa kita lihat, maka melalui para Nabi dan Rasul-lah maka pesan dan berita diriNya dapat kita peroleh, bukan dengan jalan pemikiran agar agama ( baca : Islam ) harus diartikulasikan sebagai entitas yang harus relevan dengan perkembangan zaman.

Manusia di karunia akal adalah sebagai perangkat agar kelak mereka bisa memahami ma’na hakekat penciptaannya dan yang lainnya bukan untuk mengingkari ma’na tersebut. Al-Ghazali (w. 1111) menganologikan akal sebagai “Wazir” yang perintah-perintahnya harus diikuti oleh hawa nafsunya, yaitu nafsu syahwat yang bertugas sebagai “tax collector”, dan nafsu ghadlabiyah yang bertugas sebagai polisi. Hanya dengan mengikuti instruksi-instruksi sang Wazir maka keadaan negara akan berjalan lancar dan memperoleh kemajuan

Dengan begitu secara eksplisit manusia mempunyai kebebasan dalam bertindak dan memilih yang hal ini di pandang semu oleh kaum Jabariyah dan bahkan Asy’ariyah begitu juga oleh sebagian orang-orang sufi. Dimana manusia diberi kebebasan penuh dalam memilih ( Ikhtiyar ) jalan mana yang mau mereka pilih sebagai jalan hidupnya. Dan barangkali ini adalah sebagai konsekuensi logis dari kekhalifahannya di muka bumi. Tetapi di balik itu Allah juga mempunyai rencana lain. Sebab, Allah Swt menciptakan manusia tidak hanya dibiarkan begitu saja tanpa pertanggung jawaban ( Qs. Al-Qiyamah : 36 ).

Seiring dengan itu seorang pembaharu islam yang lahir di Mesir pada awal abad ke 20 yaitu Sayyid Quthb berpendapat bahwa ” Manusia menurutnya bukanlah boneka atau wayang tanpa nyawa yang gerak dan perbuatannya sepenuhnya di tentukan oleh orang yang memainkannya. Juga bukan bulu yang melayang-layang di udara yang arahnya tergantung kemana angin itu berhembus. Tetapi mereka adalah aktor-aktor yang harus memainkan peran yang telah ditentukan kepada mereka oleh Sang pembuat skenario dan perancang lakon. Tugas mereka adalah memainkan peran mereka sebaik-baiknya, untuk itu mereka diberi akal, kehendak dan perlengkapan untuk mengembangkan peranan mereka dengan sebaik-baiknya. Jika mereka berhasil memainkan peran mereka dengan baik, maka akan diberi imbalan, tetapi jika gagal mereka akan dihukum “

Lain lagi dengan Jal al-Din Rumi yang menganalogikan manusia dengan buah. Walaupun buah itu tumbuh setelah batang dan ranting tetapi pohon secara keseluruhan justru tumbuh untuk menghasilkan buah tersebut. Kalau bukan mengharapkan buah, tanyanya, betapa seorang petani ‘kan tanam pohon ? Sesungguhnya seorang petani menanam pohon karena mengharapkan buah dari pohon tersebut. Karena pohon tanpa buah adalah pohon yang sia-sia, sebagaimana analogi yang dibuat Rasulullah ketika menggambarkan kesia-siaan ilmu tanpa diamalkan.

Dengan demikian, dalam jejak kehidupan manusia secara dogmatis ataupun de fakto, manusia mempunyai dua jalan yang harus di pilihnya untuk mengarungi roda kehidupannya di muka bumi ini. Mereka harus bisa memilih salah satu diantara jalan tersebut sebagai jalur kehidupannya kelak, karena jika tidak maka akan terjadi diskontinuitas di sepanjang sejarah kehidupannya. Dalam hal ini Allah Swt pun telah menyediakan ” HADIAH ” yang sudah di sediakan di dua ujung jalan tersebut bagi manusia.

” Itulah batas-batas ( hukum ) Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang agung. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar batas hukum hukum-Nya, niscaya Allah akan memasukkan dia ke dalam api neraka, dia kekal didalamnya dan dia akan mendapatkan azab yang menghinakan ” ( Qs. An-Nisaa : 13 -14 ).

Berangkat dari sini, marilah kita sama sama jadikan ini semua sebagai agenda kontemplasi dan kolegialitas kita semua agar kelak tidak ada lagi disparatis pemahaman tentang kuentensensi penciptaan manusia. Dan sejatinya, kita sebagai leader of tomorrow harus bisa menjadi figur sekaligus yang merekonstruksi dan mereaktualisasikan kembali pemahaman yang diskrepan dengan ajaran islam dan membumikan ajaran agama ( Islam ) yang bukan dogma semata, karena hal ini sangat inheren sekali dengan tujuan dakwah kita untuk menciptakan umat manusia yang religiositas dan kompeten dalam struktur realisasinya. Wallahu A’lam bi shawab.

* Penulis adalah Santri Universitas Al Azhar Fakultas Ushuluddin Kairo

Ibadah Sepenuh Hidupku

Juni 21, 2007

http://fauzansa.wordpress.com/2007/06/21/ibadah-sepenuh-hidupku/

Dulu saya memahami bahwa tugas manusia ada dua, sebagai penyembah Allah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Dua-duanya adalah dua sisi dari sebuah mata uang. Di balik ibadah kita, terkandung tugas kita sebagai khalifah. Di balik tugas kita untuk mengurus bumi, terkandung pengabdian kepada-Nya.

Namun, ketika sejenak memperhatikan terjemahan ayat Al-Qur’aan, ternyata terjemahannya tidak menggunakan kata-kata yang mirip. Saya memang bukan ahli tafsir, tapi tentunya beda artinya antara “jaa’ilu fil-ardhi khaliifah” dengan “illa li ya’buduun”. Tentu dua hal itu tidaklah setara. Yang satu menunjukkan bahwa ibadah itu adalah sepenuh hidup kita, yang lain menunjukkan bahwa menjadi khalifah adalah sebagian dari kemampuan kita yang sekaligus menjadi tanggung jawab kita.

Saya jadi ingat bab awal dari bukunya Pak Talib yang berjudul “Melacak Kekafiran Berfikir”. Ada yang dinamakan berlainan, berbeda, dan berlawanan. Tentu saja, ini hanyalah istilah beliau saja. Namun, kita ambil saja untuk mempermudah penamaan. Berlainan artinya dua hal yang tidak mesti bertentangan secara komplementer, namun saling asing. Contohnya adalah berjalan dan berlari. Berlawanan adalah dua hal yang berlawanan secara komplementer. Misalnya saja, hidup dan mati. Berbeda artinya adalah dua hal yang merupakan predikat yang didefinisikan secara terpisah, tapi dapat mempunyai subjek yang sama. Guru dan murid berbeda. Tapi seseorang dapat dinyatakan sebagai murid dan guru secara sekaligus. Begitu panjangnya paragraf ini, tujuannya hanya untuk menyatakan bahwa menjadi khalifah dan beribadah kepada Allah itu dua hal yang berbeda.

Apa perlunya menyatakan perbedaan tersebut? Agar kita tidak rancu dalam memahami arti ibadah. Dinyatakan, kita diciptakan HANYA untuk beribadah kepada Allah. Seharusnya tidak lagi timbul pertanyaan, lalu tugas kita sebagai khalifah bagaimana? Hmm, satu hal yang menarik. Dijadikan kita oleh Allah sebagai khalifah, berarti masih dimungkinkan kita masih punya tugas yang berlainan di luar itu. Namun, beribadah kepada Allah, tidak ada yang lain. Hanyalah itu tujuan hidup kita.

Memang, tidak ada yang baru tentang ibadah kepada Allah. Tidak ada yang baru dari ilmu ikhlas yang harus dikuasai ketika akan beribadah kepada-Nya. Hanya sekedar mengingatkan, kadangkala kita kurang memaknai ibadah itu sebagai sesuatu yang seharusnya. Saya sudah melakukan sesuatu dengan ikhlas, berarti saya sudah beribadah. Saya pengen mendapat surga, itu juga ikhlas khan? Saya takut neraka ketika menghindari yang haram, apakah seperti itu tidak dikatakan ikhlas?

Tidak ada yang menyalahkan hal itu. Tapi, ada satu hal yang sering kita lupa. Kita terlalu gengsi sama Allah. Kita bahkan sering menantang-Nya tanpa sadar. Bahkan, berdasar bekal teori motivasi barat, kita menjadi seseorang yang tidak tunduk kepada Sunnatullah. Kita mengambil dasar Allah itu menuruti persangkaan hamba-Nya, tapi tidak paham apa artinya dengan sebaik-baiknya.

Kita sering punya pandangan, tidak ada yang kita tidak mampu, karena Allah telah memberikan pilihan. Satu-satunya yang dimiliki manusia hanya kemampuan untuk memilih, karena itu dia pasti mampu untuk melakukan sesuatu yang baik-baik. Karena percaya semuanya telah disiapkan dengan baik layaknya jalan yang saling bersimpang siur, kita dengan sangat percaya diri merasa bisa memilih jalan lurus sendirian. Allah hanya jadi pencipta takdir. Yang manapun jalan yang kita pilih, itulah pilihan kita. Jadi baik atau buruk itu tanggung jawab kita. Allah hanya mengilhamkan baik dan buruk, serta menciptakan jalan-jalan untuk kita lalui. Tujuan hidup kita akhirnya bukan untuk beribadah dengan ikhlas, tapi mengejar kebahagiaan dengan “melupakan” Allah.

Saya kira, bukan begini Allah menciptakan manusia. Ketika ditugaskan untuk beribadah, harusnya hal itu dimaknai lebih dalam. Harusnya doa-doa kita mewujudkan seluruh kelemahan kita. Harusnya sholat kita benar-benar diniatkan untuk menyembahnya, bukan sekedar supaya mendapat pahala, bukan sekedar takut, bukan sekedar cinta. Harusnya, setiap istighfar kita selalu mengikutsertakan segala ketanpadayaan kita, bukan sikap tinggi hati yang sekedar mengakui kebodohan kita. Mengakui kebodohan, itu berarti mengakui bahwa kita mampu untuk melakukan segala sesuatu dengan benar. Mengakui ketanpadayaan kita, adalah perasaan bahwa kita benar-benar bergantung kepada-Nya.

Beginilah kita seharusnya memotivasi diri. Tidak hanya sekedar kata-kata motivasi semacam “saya bisa jika berpikir saya bisa” atau “saya adalah yang saya pikirkan”. Cuma Allah yang penting. Yang lainnya cuma bonus. Istri cantik itu bonus. Rumah bagus itu bonus. Kekuasaan dan keterkenalan itu bonus. Jika penyerahan diri total kita lakukan, maka kita akan mendapatkan ridha Allah, sekaligus bisa menikmati rizki-Nya, di dunia maupun di akhirat.

Ketika istri secara tidak masuk akal marah-marah dan itu di luar kehendak kita, maka Allah penyebabnya. Atasi dia dengan semangat untuk menyembah Allah. Ketika rekan kerja kita menyingkirkan kita karena masalah prinsip, itu juga dari Allah. Ketika tiba-tiba kehilangan anggota keluarga, jelas itu dari Allah. Ketika tiba-tiba kecelakaan sehingga hilanglah anugerah yang merupakan kemampuan kita, siapa lagi kalau bukan dari Sang Pemberi Anugerah? Apapun yang tidak menyenangkan dan kita tidak kuasa terhadapnya adalah dari Allah. Satu-satunya yang perlu kita lakukan adalah mengingat-Nya dan kembali mengadukan segalanya kepada-Nya.

Allah Maha Pemurah. Allah Maha Penyayang. Kita hanyalah makhluk hina yang segala nasibnya bergantung kepada-Nya. Hanya Dia yang layak kita sembah. Hanya Menyembah Dia segala yang perlu kita lakukan. Jangan pernah melupakan segala peranNya dalam hidup kita. Jangan berhenti memohon. Jangan berhenti mengeluh kepada-Nya, menangis kepada-Nya, ataupun mengaku salah kepada-Nya. Selalulah bertasbih dan mengharap ridho-Nya.

Mengenal Diri Sendiri

Monday, April 09, 2007

Ma'rifatul Insan (Mengenal Diri Sendiri)
http://isparmo.blogspot.com

TUJUAN

1. Peserta mengetahui pengertian manusia

2. Peserta sadar akan kelebihan dan kekurangan

3. Peserta mengetahui tujuan dan tugasnya sehingga dapat mensikapinya dengan benar.


URAIAN

DEFINISI MANUSIA

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang terdiri atas Jasad, ruh, dan Akal dan dimuliakan dengan tugas mengabdi kepada Allah dan sebagai khalifah dimuka bumi. (konsep “Tawazun’ ).

BAGAIMANAKAH MANUSIA ITU ?

Manusia diciptakan Allah dengan dikaruniai banyak keistimewaan dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain, a.l :

1. Segi Penciptaan

þ Manusia diciptakan dari segenggam inti bumi yang didalamnya terkandung beberapa sifat yaitu sifat baik dan buruk, bahagia dan sedih, mulia dan hina. Yang mengistimewakan manusia dari makhluk yang lain yang bertebaran dimuka bumi ini karena Allah telah menciptakan langsung dengan tanganNYa dan menyuruh semua malaikat bersujud kepadanya.

þ Manusia tidak diciptakan dengan sia – sia. (Al Qiyamah : 36 – 38).

þ Manusia diciptakan dalam bentuk yang paling sempurna dan paling baik dibandingkan mahkluk Allah yang lain.

2. Segi Ilmu

Manusia dimuliakan dengan dikaruniai akal sehingga dapat menyerap ilmu, memahami, menjelaskan, serta mengembangkannya.” Yang membedakan manusia dari makhluk Allah yang lain, seperti hewan adalah keistimewaan dan kelebihan yang dimilikinya berupa ilmu, akal dan kemampuan menganalisa, maka apabila semua kelebihannya itu hilang , hilanglah pula yang membedakannya dengan hewan kecuali satu yaitu manusia dapat berbicara sedangkan hewan tidak (Miftahu Darus Sa’adah, Ibnu Qayyim, I / 167).

3. Segi Kehendak

Manusia dilebihkan dengan dipadukannya tiga unsur jiwa, yaitu kekuatan, syahwat, dan iradah (kecenderungan yang baik). Ia bisa memulai jalan yang baik dan bisa pula jalan yang buruk. Sekadar ilmu belum tentu bisa mengarahkan orang pada kebaikan, yang bisa mengarahkan pada kebaikan adalah kemauan dan kehendak yang kuat. Bisa jadi seseorang yang telah tahu bahwa mencuri itu perbuatan yang buruk, tetapi tetap ia lakukan.

Berbeda dengan malaikat yang hanya memiliki satu pilihan (tidak bisa berkehendak) yaitu taat pada Allah, Sang Pencipta sesuai dengan tugasnya masing–masing.

4. Segi Posisi

Allah memberikan kedudukan yang tinggi kepada manusia diantara makhluk lainnya, yakni sebagai pemimpin. Sehingga Manusia bisa memanfaatkan alam semesta ini untuk keperluan hidupnya. (Q.S All Baqarah:29, Hud(11):61)

5. Segi Komunikasi

Manusia dilebihkan dengan dua alat komunikasi : lisan yang digunakan untuk berbicara dan jari jemari yang digunakan untuk menulis. Jika kita perhatikan , seluruh makhluk hidup diberikan indera mulut dan alat suara, semuanya dapat berbicara dengan bahasa masing – masing, ada yang berkicau, mendengus, mecicit, dll. Sedang manusia, bisa berbicara dengan berbagai macam bahasa dan suara, termasuk menirukan suara binatang, dan bunyi–bunyian alam lainnya

6. Segi Tendensi Moral

Manusia memiliki peluang untuk ‘dibentuk’ menjadi baik atau buruk. Bahkan bisa berperan ganda –sebagaimana orang munafik . Berbagai macam sifat dan sikap bisa ia miliki sekaligus. Dan sangat berbeda dengan binatang, binatang sulit atau bahkan tidak bisa dibentuk dengan sifat dan karakter yang bermacam–macam.

‘ Setiap bayi yang dilahirkan dilahirkan itu dalam keadaan fitrah. Maka kedua orangtuanyalah yang mempengaruhi hingga menjadi Yahudi, Nashrani, dan atau Majusi.’( Hadist sahih, telah dishahihkan oleh Al-Albani dalam Jami’Ash-Shaghir 4/181).

7. Manusia dilebihkan dengan sifat malu. Ibnu Qoyyim berkata, ”Perhatikanlah satu macam sifat yang hanya dikaruniakan Allah kepada manusia dan tidak kepada yang lain yaitu sifat malu, bahwa sifat malu adalah akhlaq yang paling agung dan mulia serta paling tinggi kedudukannya dan paling banyak manfaatnya bagi manusia, bahkan merupakan ciri khusus bagi eksistensi manusia. Sehigga barangsiapa yang tidak memiliki rasa malu, maka telah hilang eksistensii kemanusiaannya kecuali ia hanya seonggok daging yang teraliri darah.

8. Bahwa perintah – perintah Allah tidak pernah terlepas dari diri manusia sejak ia masih berbentuk janin dalam rahim seorang ibu sampai akhir hayatnya (ketika ia bertemu Rabbnya ).

Demikianlah antara lain keistimewaan manusia dibandingkan dengan makhluk Allah yang lain. Manusia diciptakan dengan banyak kelebihan , namun jika keliru mengambil jalan hidup, ia bisa mencapai derajat yang paling rendah ketimbang binatang sekalipun.

“Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang – orang yang lalai.” (Al A’raf (7):179).

Keistimewaan manusia ini penuh dengan konsekuensi yang menyertai misi keberadaannya di muka bumi ini. Selain dikaruniai banyak kelebihan dan keistimewaan , manusia juga dikaruniai banyak kelemahan yang merupakan sifat dasar manusia, kelemahan itu antara lain :

1. Tergesa – gesa (QS. Al Isra’ : 11, QS. Al Anbiya’ 21)

2. Lemah (QS. An Nissa’: 28)

3. Bodoh (QS.AL Ahzab : 72)

4. Suka membantah (QS. Al Kahfi: 54)

5. Kikir dan keluh kesah (QS. Al Ma’arij : 19, QS. Al Isra’ : 100)

6. Ingkar (QS. Al ‘Aadiyaat : 6, QS. Al Hajj : 66, Ibrahiim (14) : 34, Az Zukhruf (43) : 15

7. Putus Asa (QS. Haa Mim Assajdah : 49, QS. Al Isra’ : 83)

8. Berlebih – lebihan (QS. Yunus : 49)

9. Lalai (QS Al A’raf :179)

10. Susah payah (QS. Al Balad :4)

Tetapi apakah kemudian kita diam saja, memang kita sebagai makhluk mempunyai keterbatasan , Allah menyatakan kita bodoh ya karena memang ilmu Allah jauh lebih luas dari ilmu yang kita miliki. Tetapi tidak kemudian karena kita mengakui kebodohan itu, kita tidak mau berusaha untuk menjadii lebih pandai,dsb. Sifat - sifat buruk ini bisa saja dominan ketika kita memperturutkan hawa nafsu dan keinginan kita. Namun Apakah manusia memilih jalan kebaikan atau keburukan semua itu akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. QS Al Isra’ (17) : 36. Nha, makanya manusia dituntut untuk benar dalam menentukan pilihan kehidupan di dunia agar nanti di ‘sono’nya bisa memprtanggungjawabkan dengan baik di hadapan Allah.

UNTUK APA MANUSIA ITU …?

Sesungguhnya kehadiran manusia dimuka bumi ini tidak untuk main–main dan senda gurau, tetapi dengan suatu kepastian arah dan tujuan. Bahkan sebelum limpahan tugas dan tanggungjawab besar itu dibebankan kepada manusia telah ditawarkan kepada makhluk Allah yang lain. QS. Al Ahzab (33): 72. Tampak disini tugas manusia tidaklah ringan, terbukti tak satupun makhluk Allah yang berani memikulnya. Sedang tugas manusia itu sebenarnya adalah :

1. Tugas Ibadah

QS Adz Dzariyat (51) : 56. Ibadah adalah segala amal perbuatan yang diniatkan karena Allah dan unutk mendapat ridlo Allah semata. Sehingga amat pentinglah arti niat itu, sebagaimana Sabda Rosululloh SAW, Sesungguhnya sah tidaknya sebuah amal tergantung ada niat,…(HR, Bukhari – Muslim).

2. Tugas Khalifah

QS An Naml (72):62.Tugas Kekhalifahan ini berhubungan erat dengan tugas yang pertama, yakni ibadah kepda Allah secara total