Suluk Wijil

9 Sang Arif berkata lembut “Hai Wujil, kemarilah!” Dipegangnya kucir rambut Wujil Seraya dielus-elus Tanda kasihsayangnya “Wujil, dengar sekarang Jika kau harus masuk neraka Karena kata-kataku Aku yang akan menggantikan tempatmu” ... 11 “Ingatlah Wujil, waspadalah! Hidup di dunia ini Jangan ceroboh dan gegabah Sadarilah dirimu Bukan yang Haqq Dan Yang Haqq bukan dirimu Orang yang mengenal dirinya Akan mengenal Tuhan Asal usul semua kejadian Inilah jalan makrifat sejati”

Rabu, 07 November 2007

Takdir

Takdir

Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


Takdir adalah suatu ketetapan akan garis kehidupan seseorang. Setiap orang lahir lengkap dengan skenario perjalanan kehidupannya dari awal dan akhir. Hal ini dinyatakan dalam Qur'an bahwa segala sesuatu yang terjadi terhadap diri seorang sudah tertulis dalam induk kitab. Namun pemahaman seperti ini tidak bisa berdiri sendiri atau belum lengkap, karena dengan hanya memahami seperti tersebut diatas dapat menyebabkan seseorang bingung untuk menjalani hidup dan mensikapinya. Disatu sisi seseorang

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Takdir dalam agama Islam

Umat Islam memahami takdir sebagai bagian dari tanda kekuasaan Tuhan yang harus diimani sebagaimana dikenal dalam Rukun Iman. Penjelasan tentang takdir hanya dapat dipelajari dari informasi Tuhan, yaitu informasi Allah melalui Al Quran dan Al Hadits. Secara keilmuan umat Islam dengan sederhana telah mendefinisikan takdir sebagai segala sesuatu yang sudah terjadi.

Untuk memahami konsep takdir, umat Islam tidak dapat melepaskan diri dari dua dimensi pemahaman takdir. Kedua dimensi dimaksud ialah dimensi ketuhanan dan dimensi kemanusiaan.

[sunting] Dimensi ketuhanan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang menginformasikan bahwa Allah maha kuasa menciptakan segala sesuatu termasuk menciptakan Takdir.

[sunting] Dimensi kemanusiaan

Dimensi ini merupakan sekumpulan ayat-ayat dalam Al Quran yang meginformasikan bahwa Allah memperintahkan manusia untuk berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-cita dan tujuan hidup yang dipilihnya.

[sunting] Implikasi Iman kepada Takdir

Kesadaran manusia untuk beragama merupakan kesadaran akan kelemahan dirinya. Terkait dengan fenomena takdir, maka wujud kelemahan manusia itu ialah ketidaktahuannya akan takdirnya. Manusia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi. Kemampuan berfikirnya memang dapat membawa dirinya kepada perhitungan, proyeksi dan perencanaan yang canggih. Namun setelah diusahakan realisasinya tidak selalu sesuai dengan keinginannya. Manuisa hanya tahu takdirnya setelah terjadi.

Oleh sebab itu sekiranya manusia menginginkan perubahan kondisi dalam menjalani hidup di dunia ini, diperintah oleh Allah untuk berusaha dan berdoa untuk merubahnya. Usaha perubahan yang dilakukan oleh manusia itu, kalau berhasil seperti yang diinginkannya maka Allah melarangnya untuk menepuk dada sebagai hasil karyanya sendiri. Bahkan sekiranya usahanya itu dinialianya gagal dan bahkan manusia itu sedih bermuram durja menganggap dirinya sumber kegagalan, maka Allah juga menganggap hal itu sebagai kesombongan yang dilarang juga (Al Hadiid QS. 57:23).

Kesimpulannya, karena manusia itu lemah (antara lain tidak tahu akan takdirnya) maka diwajibkan untuk berusaha secara bersungguh-sungguh untuk mencapai tujuan hidupnya yaitu beribadah kepada Allah. Dalam menjalani hidupnya, manusia diberikan pegangan hidup berupa wahyu Allah yaitu Al Quran dan Al Hadits untuk ditaati.

[sunting] Iman kepada Qadar

Iman kepada Qadar adalah salah satu dari enam rukun iman yang telah dijelaskan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman. Iman kepada Qadar adalah masalah yang sangat penting. Banyak orang yang telah memperdebatkan tentang Qadar sejak zaman dahulu, sampai hari inipun mereka masih memperdebatkan. Akan tetapi kebenaran masalah tersebut, walillah al-Ham, sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Kemudian yang dimaksud dengan iman kepada Qadar adalah kita mempercayai (sepenuhnya) bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu, sebagaimana firman-Nya.

"Artinya : Dia (Allah) telah menciptakan segala sesuatu dan sungguh telah menetapkannya" [Al-Furqaan : 2]

Kemudian ketetapan yang telah ditetapkan Allah selalu sesuai dengan kebijakan-Nya dan tujuan mulia yang mengikutinya serta berbagai akibat yang bermanfaat bagi hamba-Nya, baik untuk kehidupan (dunia) maupun akhiratnya.

Iman kepada Qadar berkisar empat tingkat keimanan.

[1]. Ilmu (Allah), yakni mempercayai dengan sepenuhnya bahwa ilmu Allah Subhanahu wa Ta'ala meliputi segala sesuatu, baik di masa lalu, sekarang maupun yang akan datang, baik yang berhubungan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan hamba-Nya. Dia (Allah) meliputi semuanya, baik secara global maupun rinci dengan ilmu-Nya yang menjadi salah satu sifat-Nya sejak azali dan selamanya (tak ada akhirnya). Dalil-dalil tentang tingkatan ini banyak sekali. Allah telah berfirman :

"Artinya : Sesungguhnya Allah tidak ada rahasia lagi bagi-Nya segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit" [ Ali-Imran : 5]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat lain yang menunjukkan pengetahuan Allah pada segala sesuatu, baik secara global maupun rinci. Dalam tingkatan ini barangsiapa yang mengingkari Qadar maka dia kafir, karena dia mendustakan Allah dan Rasul-Nya serta ijma' kaum muslimin dan meremehkan kesempurnaan Allah. Maka Allah tidak akan bodoh terhadap sesuatu yang akan datang dan tidak akan melupakan sesuatu yang telah lewat.

[2]. Beriman kepada Allah telah menulis ketetapan segala sesuatu sampai terjadi hari Qiyamat, karena ketika Dia menciptakan Qalam, Dia berfirman kepadanya : "Tulislah", kemudian dia (Qalam) berkata : "Hai Tuhanku, apa yang aku tulis?" Dia berfirman : "Tulislah (dalam hadits yang lain. "Tulislah taqdir segala sesuatu hingga hari kiamat") semuanya yang terjadi", kemduian dia (Qalam) seketika berjalan menulis segala sesuatu yang terjadi sampai hari Qiyamat. Maka Allah telah menulis di Lauh Mahfudz ketetapan segala sesuatu. Tingkatan ini telah ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya : Apakah kamu tidak tahu bahwa Allah mengetahui segala sesuatu yang ada di langit dan bumi. Sesungguhnya itu semua telah ada dalam kitab, sesungguhnya itu sangat mudah bagi Allah" [Al-Hajj : 70]

[3]. Beriman bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini disebabkan kehendak Allah. Segala sesuatu yang ada di alam ini terjadi karena kehendak Allah, baik yang dilakukan oleh-Nya maupun oleh mahkhluk. Allah telah berfirman.

"Artinya : Dia (Allah) melakukan apa yang Dia kehendaki" [Ibrahim : 7]

Allah juga berfirman.

"Artinya : Kalau Dia (Allah) menghendaki maka Dia memberi petunjuk kepadamu semuanya" [Al-An'am : 149]

[4]. Beriman bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu, Maka Allah adalah Maha Pencipta dan selain-Nya Dia adalah makhluk. Segala sesuatu, Allah-lah penciptanya dan semua makhluk adalah ciptaan-Nya. Jika segala perbuatan manusia dan ucapannya termasuk sifatnya, sedangkan manusia itu makhluk, maka sifat-sifatnya juga makhluk Allah. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah.

"Artinya : Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat" [As-Safat : 96]

Dengan demikian, Allah telah menetapkan penciptaan manusia dan perbuatannya. Allah juga berfirman : "Wa ma ta'malun" (dan apa saja yang kamu perbuat).

Kemudian ketahuilah bahwa iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan pelaksanaan sebab, bahkan melaksanakan berbagai sebab merupakan perintah Syari'ah. Hal itu dapat tercapai karena Qadar, karena bebagai sebab akan melahirkan musabab (akibat). Oleh karena itu, Amirul Mu'minin, Umar bin Khaththab, ketika pergi menuju Syam, di tengah perjalan dia mengetahui bahwa telah menyebar wabah penyakit di sana. Kemudian para sahabat bermusyawarah ; apakah perjalanan ini diteruskan atau kembali pulang ke Madinah ? Maka terjadilah perselisihan pendapat di antara mereka dan kemudian beliau memutuskan untuk kembali ke Madinah. Ketika beliau (Umar) sudah mantap pada pendapat tersebut, maka datanglah Abu Ubaidah Amir bin Al-Jarah seraya berkata : Hai Amirul Mu'minin, mengapa anda kembali ke Madinah dan lari dari Qadar Allah ?" Umar menjawab : " Kami lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah". Kemudian setelah itu datang Abdurrahman bin Auf (dia sebelumnya tidak ada di situ untuk memenui kebutuhannya), kemudian dia menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda tentang wabah penyakit.

"Artinya : Bila kamu sekalian mendengar terjadinya wabah penyakit di bumi tertentu, maka janganlah kamu mendatanginya dan biarkan mereka yang terkena wabah itu mati tanpa perlu dikasihani. Contoh gempa di Aceh lalu, banyak muslim segan datang menolong mereka yang tertimpa bencana mengingat takdir ini".

Kesimpulan perkataan Umar "lari dari Qadar Allah menuju Qadar Allah" itu merupakan dalil bahwa melaksanakan sebab juga termasuk Qadar Allah. Kita tahu bahwa apabila seseorang mengatakan " saya beriman kepada Qadar Allah dan Allah akan memberiku seorang anak dengan tanpa istri", maka orang tersebut dapat dikatakan gila. Begitu juga bila dia mengatakan "saya beriman kepada Qadar Allah dan saya tidak akan berupaya mencari rizki dan tidak melaksanakan sebab-sebab mendapatkan rizki", maka dia adalah dungu. Maka iman kepada Qadar tidak berarti menghilangkan sebab-sebab syar'iyah atau ikhtiar yang benar. Adapun sebab-sebab yang berupa prasangka yang dianggap palakunya sebagai sebab padahal bukan, maka hal itu di luar perhitungan dan tidak perlu diperhatikan.

[sunting] Konsep Takdir dalam agama Islam

Taqdir berarti kepastian atau ketentuan. Yaitu suatu ketentuan yang telah ditetap Allah SWT kepada setiap hambaNya.

Ada yang namanya Taqdir Mubram yaitu suatu ketentuan yang bersifat pasti dan tak dapat dirubah oleh siapapun, seperti : Manusia pasti mati

dan ada yang namanya Taqdir Muallaq, yaitu suatu ketentuan berdasarkan situasi dan kondiri, seperti : Kalau seseorang itu rajin belajar, maka ia akan pandai, tapi jika ia malas, maka ia akan bodoh. orang yang rajin bekerja, ia akan kaya, tapi yang malas berusaha, ia akan miskin

[sunting] Takdir dalam agama Kristen

Pengertian yang serupa dengan takdir dalam agama Kristen ditemukan khususnya dalam ajaran Yohanes Calvin tentang predestinasi. Ajaran ini secara khusus dikaitkan dengan keselamatan jiwa seseorang. Menurut Calvin, manusia telah ditetapkan Allah bahkan sejak di dalam kandungan ibunya apakah ia akan diselamatkan atau tidak. Ajaran Calvin ini selanjutnya dikembangkan oleh sejumlah pengikutnya menjadi ajaran predestinasi ganda yang menyatakan bahwa sebagian manusia telah ditetapkan untuk diselamatkan, sementara sebagian lagi ditetapkan untuk hukuman kekal.

Calvin sendiri sebetulnya tidak menganggap ajaran predestinasi ini sebagai ajaran yang utama. Di masa kini ajaran predestinasi maupun predestinasi ganda telah banyak ditinggalkan oleh Gereja-gereja Calvinis. Hanya beberapa aliran Calvinis konservatif yang masih mempertahankan ajaran ini.

[sunting] Kesimpulan

Takdir dalam doktrin Quran bisa ditafsirkan oleh siapa saja sesuai kondisinya masing-masing. Sangat fleksibel dan tidak memiliki ketentuan yang pasti.


Takdir seperti kalkulator

Takdir seperti kalkulator

kalkulatorDemikianlah analogi yang disampaikan Agus Mustofa dalam bukunya Mengubah Takdir. Artinya keberhasilan kita di dunia ini bergantung pada potensi yang sduah diberikan Allah, dan usaha kita dalam bentuk memijit-mijit tobol kalkulator itu.

Saya rangkum kembali apa yang disampaikan Agus dalam bahasa saya. Kira-kira kurang lebih begini. Setiap diri kita ini sudah diprogram sebelumnya oleh Allah seperti halnya setiap kalkulator sudah diberi program di dalamnya oleh pabrik pembuatnya. Program dasar inilah yang kita sebut potensi diri, atau hukum Allah (sunnatullah). Setiap manusia mempunyai program dasar yang sama dengan variasi ada yang dilebihkan dikit ada yang dikurangi dikit. Ibaratnya semua kalkulator pasti punya program dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Kalau tidak ada program dasar itu ya tidak layak disebut kalkulator normal. Demikian pula setiap manusia telah diberi program dasar ‘kemanusiaan’ yang membuatnya layak disebut manusia.

Nah, seperti halnya kalkulator, ternyata selain punya program dasar yang sama, atribut tambahannya bias berbeda-beda. Ada kalkulator yang cukup dengan tombol-tombol sederhana, ada yang dirancang khusus dengan tombol-tombol istimewa misalnya tombol kuadrat, akar, sin cos, dan lainnya. Nah dengan adanya perbedaan ini maka kecepatan kalkulator untuk mengerjakan sesuatu berbeda-beda. Misalnya bagi kalkulator sederhana untuk menghitung 3x3 perlu empat langkah yaitu pijit angka 3, pijit ‘x’, pijit 3 lagi, dan pijit ‘=’. Untuk kalkulator yang punya tombol kuadrat cukup dua langkah, yaitu pijit 3, lalu tombol kuadrat. Hasilnya sama, tapi kecepatannya beda.

Demikian halnya dengan keunikan kita masing-masing, untuk mencapai prestasi yang sama bagi setiap orang mungkin dibutuhkan ikhtiar yang beda jalannya dan beda kesulitannya. Ada yang pintar olahraga, akan mudah untuk main basket tapi belum tentu mudah mengerjakan matematika. Kita menyebutnya kecerdasan atau bakat yang berbeda. Namun kalau mau terus berusaha, yang tidak jago matematika tetap bisa mengerjakan soal matematika walaupun perlu usaha lebih keras, jalan lebih berliku, dan ketekunan. Bagi yang jago matematika, dia bisa mengerjakannya dalam sekejap, laksana pijit tombol kuadrat di kalkulator.

Selain keunikan yang sudah diberikan Allah kepada masing-masing diri kita, masih diperlukan ilmu untuk melakukan usaha dengan benar. Ini ibarat memijit tombol kalkulator dengan tombol yang benar dan urutan yang benar. Andai kita punya kemampuan laksana kalkulator yang canggih, tapi tidak pernah memijit tombol atau keliru memijit tombol, hasilnya juga akan salah. Lebih saying lagi bila punya kemampuan tapi tidak tahu bahwa punya kemampuan, ibarat kalkulator punya tombol kuadrat tapi tidak tahu kalau ada, atau tidak tahu cara pakainya.

Yang lebih ironis lagi ada orang yang salah pijit tombol ‘off’ alias mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri atau melakukan hal yang mencelakakan dirinya. Itulah mengapa orang yang bunuh diri itu berdosa, karena kematian jenis seperti itu adalah kematian yang mengandung ‘ikhtiar’ dari pelaku. Sebenarnya, seperti kalkulator juga, tanpa pijit tombol ‘off’ pun kelak si kalkulator akan mati sendiri, yaitu karena kehabisan batere!

Analogi pak Agus ini menurut saya cukup bagus untuk menjelaskan konsep takdir secara sederhana. Hasil kita di dunia ini adalah kombinasi antara potensi yang diberikan Allah (disebut qadla), kemudian berinteraksi dengan usaha kita (laksana memilih tombol yang dipijit, ini terserah pengguna dan bergantung ilmunya), maka hasilnya tak pernah akan keluar dari ketetapan Allah, laksana himpunan hasil yang mungkin dikeluarkan kalkulator pasti sudah diketahui oleh pembuatnya.

Demikianlah ketetapan tentang takdir. Allah sudah menetapkan takdir bagi kita dalam bentuk potensi, hukum sunnatullah, dan Allah pun memberikan kepada manusia kebebasan untuk memilih akan diapakan ‘kalkulator’ yang telah dikaruniakan kepada kita dalam hidup ini.

khairulu Silahkan beri komentar ya..., tanya, kritik, atau menambah ...
Komentar Anda akan turut menyempurnakan ilmu kami, dan berharga buat pembaca lainnya. Tks! - khairul -

Senin, 05 November 2007

Takdir Manusia (3/3)

TAKDIR
Manusia mempunyai kemampuan terbatas sesuai dengan ukuran
yang diberikan oleh Allah kepadanya. Makhluk ini, misalnya,
tidak dapat terbang. Ini merupakan salah satu ukuran atau
batas kemampuan yang dianugerahkan Allah kepadanya. Ia tidak
mampu melampauinya, kecuali jika ia menggunakan akalnya
untuk menciptakan satu alat, namun akalnya pun, mempunyai
ukuran yang tidak mampu dilampaui. Di sisi lain, manusia
berada di bawah hukum-hukum Allah sehingga segala yang kita
lakukan pun tidak terlepas dari hukum-hukum yang telah
mempunyai kadar dan ukuran tertentu. Hanya saja karena
hukum-hukum tersebut cukup banyak, dan kita diberi kemampuan
memilih -tidak sebagaimana matahari dan bulan misalnya- maka
kita dapat memilih yang mana di antara takdir yang
ditetapkan Tuhan terhadap alam yang kita pilih. Api
ditetapkan Tuhan panas dan membakar, angin dapat menimbulkan
kesejukan atau dingin; itu takdir Tuhan -manusia boleh
memilih api yang membakar atau angin yang sejuk. Di sinilah
pentingnya pengetahuan dan perlunya ilham atau petunjuk
Ilahi. Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:

"Wahai Allah, jangan engkau biarkan aku sendiri (dengan
pertimbangan nafsu akalku saja), walau sekejap."

Ketika di Syam (Syria, Palestina, dan sekitarnya) terjadi
wabah, Umar ibn Al-Khaththab yang ketika itu bermaksud
berkunjung ke sana membatalkan rencana beliau, dan ketika
itu tampil seorang bertanya:

"Apakah Anda lari/menghindar dari takdir Tuhan?"

Umar r.a. menjawab,

"Saya lari/menghindar dan takdir Tuhan kepada takdir-Nya
yang lain."

Demikian juga ketika Imam Ali r.a. sedang duduk bersandar di
satu tembok yang ternyata rapuh, beliau pindah ke tempat
lain. Beberapa orang di sekelilingnya bertanya seperti
pertanyaan di atas. Jawaban Ali ibn Thalib, sama intinya
dengan jawaban Khalifah Umar r.a. Rubuhnya tembok,
berjangkitnya penyakit adalah berdasarkan hukum-hukum yang
telah ditetapkan-Nya, dan bila seseorang tidak menghindar ia
akan menerima akibatnya. Akibat yang menimpanya itu juga
adalah takdir, tetapi bila ia menghindar dan luput dari
marabahaya maka itu pun takdir. Bukankah Tuhan telah
menganugerahkan manusia kemampuan memilah dan memilih?
Kemampuan ini pun antara lain merupakan ketetapan atau
takdir yang dianugerahkan-Nya Jika demikian, manusia tidak
dapat luput dari takdir, yang baik maupun buruk. Tidak
bijaksana jika hanya yang merugikan saja yang disebut
takdir, karena yang positif pun takdir. Yang demikian
merupakan sikap 'tidak menyucikan Allah, serta bertentangan
dengan petunjuk Nabi Saw.,' "... dan kamu harus percaya
kepada takdir-Nya yang baik maupun yang buruk." Dengan
demikian, menjadi jelaslah kiranya bahwa adanya takdir tidak
menghalangi manusia untuk berusaha menentukan masa depannya
sendiri, sambil memohon bantuan Ilahi

Apakah Takdir Merupakan Rukun Iman?

Perlu digarisbawahi bahwa dari sudut pandang studi Al-Quran,
kewajiban mempercayai adanya takdir tidak secara otomatis
menyatakannya sebagai satu di antara rukun iman yang enam.
Al-Quran tidak menggunakan istilah "rukun" untuk takdir,
bahkan tidak juga Nabi Saw. dalam hadis-hadis beliau.
Memang, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh banyak
pakar hadis, melalui sahabat Nabi Umar ibn Al-Khaththab,
dinyatakan bahwa suatu ketika datang seseorang yang
berpakaian sangat putih, berambut hitam teratur, tetapi
tidak tampak pada penampilannya bahwa ia seorang pendatang,
namun, "tidak seorang pun di antara kami mengenalnya."
Demikian Umar r.a. Dia bertanya tentang Islam, Iman, Ihsan,
dan saat kiamat serta tanda-tandanya. Nabi menjawab antara
lain dengan menyebut enam perkara iman, yakni percaya kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-
rasulNya, hari kemudian, dan "percaya tentang takdir-Nya
yang baik dan yang buruk." Setelah sang penanya pergi, Nabi
menjelaskan bahwa,

"Dia itu Jibril, datang untuk mengajar kamu, agama kamu."

Dari hadis ini, banyak ulama merumuskan enam rukun Iman
tersebut.

Seperti dikemukan di atas, Al-Quran tidak menggunakan kata
rukun, bahkan Al-Quran tidak pernah menyebut kata takdir
dalam satu rangkaian ayat yang berbicara tentang kelima
perkara lain di atas. Perhatikan firman-Nya dalam surat
Al-Baqarah (2): 285,

"Rasul percaya tentang apa yang diturunkan kepadanya dari
Tuhannya, demikian juga orang-orang Mukmin. Semuanya percaya
kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,
Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian."

Dalam QS Al-Nisa' (4): 136 disebutkan:

"Wahai orang-orang yang beriman, (tetaplah) percaya kepada
Allah dan Rasul-Nya, dan kepada kitab yang diturunkan kepada
Rasul-Nya, dan kitab yang disusunkan sebelum (Al-Quran).
Barangsiapa yang tidak percaya kepada Allah, malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudiam, maka
sesungguhnya dia telah sesat sejauh-jauhnya."

Bahwa kedua ayat di atas tidak menyebutkan perkara takdir,
bukan berarti bahwa takdir tidak wajib dipercayai. Tidak!
Yang ingin dikemukakan ialah bahwa Al-Quran tidak
menyebutnya sebagai rukun, tidak pula merangkaikannya dengan
kelima perkara lain yang disebut dalam hadis Jibril di atas.
Karena itu, agaknya dapat dimengerti ketika sementara ulama
tidak menjadikan takdir sebagai salah satu rukun iman,
bahkan dapat dimengerti jika sementara mereka hanya menyebut
tiga hal pokok, yaitu keimanan kepada Allah, malaikat, dan
hari kemudian. Bagi penganut pendapat ini, keimanan kepada
malaikat mencakup keimanan tentang apa yang mereka sampaikan
(wahyu Ilahi), dan kepada siapa disampaikan, yakni para Nabi
dan Rasul.

Bahkan jika kita memperhatikan beberapa hadis Nabi,
seringkali beliau hanya menyebut dua perkara, yaitu percaya
kepada Allah dan hari kemudian.

"Siapa yang percaya kepada Allah dan hari kemudian, maka
hendaklah ia menghormati tamunya. Siapa yangpercaya kepada
Allah dan hari kemudian, maka hendaklah ia menyambung tali
kerabatnya. Siapa yang percaya kepada Allah dan hari
kemudian, maka hendaklah ia berkata benar atau diam."

Demikian salah satu sabdanya yang diriwayatkan oleh Bukhari
dan Muslim melalui Abu Hurairah.

Al-Quran juga tidak jarang hanya menyebut dua di antara
hal-hal yang wajib dipercayai. Perhatikan misalnya surat
Al-Baqarah (2): 62,

"Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi,
Nasrani, Shabiin (orang-orang yang mengikuti syariat Nabi
zaman dahulu, atau orang-orang yang menyembah bintang atau
dewa-dewa), siapa saja di antara mereka yang benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh,
maka mereka akan menerima ganjaran mereka di sisi Tuhan
mereka, tidak ada rasa takut atas mereka, dan tidak juga
mereka akan bersedih."

Ayat ini tidak berarti bahwa yang dituntut dari semua
kelompok yang disebut di atas hanyalah iman kepada Allah dan
hari kemudian, tetapi bersama keduanya adalah iman kepada
Rasul, kitab suci, malaikat, dan takdir. Bahkan ayat
tersebut dan semacamnya hanya menyebut dua hal pokok, tetapi
tetap menuntut keimanan menyangkut segala sesuatu yang
disampaikan oleh Rasulullah Saw., baik dalam enam perkara
yang disebut oleh hadis Jibril di atas, maupun perkara
lainnya yang tidak disebutkan.

Demikianlah pengertian takdir dalam bahasa dan penggunaan
Al-Quran.

Takdir (2/3)

Takdir dalam Bahasa Al-Quran

Kata takdir (taqdir) terambil dan kata qaddara berasal dari
akar kata qadara yang antara lain berarti mengukur, memberi
kadar atau ukuran, sehingga jika Anda berkata, "Allah telah
menakdirkan demikian," maka itu berarti, "Allah telah
memberi kadar/ukuran/batas tertentu dalam diri, sifat, atau
kemampuan maksimal makhluk-Nya."

Dari sekian banyak ayat Al-Quran dipahami bahwa semua
makhluk telah ditetapkan takdirnya oleh Allah. Mereka tidak
dapat melampaui batas ketetapan itu, dan Allah Swt. menuntun
dan menunjukkan mereka arah yang seharusnya mereka tuju.
Begitu dipahami antara lain dari ayat-ayat permulaan Surat
Al-A'la (Sabihisma),

"Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Mahatinggi, yang menciptakan
(semua mahluk) dan menyempurnakannya, yang memberi takdir
kemudian mengarahkan(nya)" (QS Al-A'la [87]: 1-3).

Karena itu ditegaskannya bahwa:

"Dan matahari beredar di tempat peredarannya Demikian itulah
takdir yang ditentukan oleh (Allah) Yang Mahaperkasa lagi
Maha Mengetahui" (QS Ya Sin [36]: 38).

Demikian pula bulan, seperti firman-Nya sesudah ayat di
atas:

"Dan telah Kami takdirkan/tetapkan bagi bulan
manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah
yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang
tua" (QS Ya Sin [36]: 39)

Bahkan segala sesuatu ada takdir atau ketetapan Tuhan
atasnya,

"Dia (Allah) Yang menciptakan segala sesuatu, lalu Dia
menetapkan atasnya qadar (ketetapan) dengan
sesempurna-sempurnanya" (QS Al-Furqan [25]: 2).

"Dan tidak ada sesuatu pun kecuali pada sisi Kamilah
khazanah (sumber)nya; dan Kami tidak menurunkannya kecuali
dengan ukuran tertentu" (QS Al-Hijr [15]: 21).

Makhluk-Nya yang kecil dan remeh pun diberi-Nya takdir.
Lanjutan ayat Sabihisma yang dikutip di atas menyebut
contoh, yakni rerumputan.

"Dia Allah yang menjadikan rumput-rumputan, lalu
dijadikannya rumput-rumputan itu kering kehitam-hitaman" (QS
Sabihisma [87]: 4-53)

Mengapa rerumputan itu tumbuh subur, dan mengapa pula ia
layu dan kering. Berapa kadar kesuburan dan kekeringannya,
kesemuanya telah ditetapkan oleh Allah Swt., melalui
hukum-hukum-Nya yang berlaku pada alam raya ini. Ini berarti
jika Anda ingin melihat rumput subur menghijau, maka
siramilah ia, dan bila Anda membiarkannya tanpa
pemeliharaan, diterpa panas matahari yang terik, maka pasti
ia akan mati kering kehitam-hitaman atau ghutsan ahwa
seperti bunyi ayat di atas. Demikian takdir Allah menjangkau
seluruh makhluk-Nya. Walhasil,

"Allah telah menetapkan bagi segala sesuatu kadarnya" (QS
Al-Thalaq [65]: 3)

Peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam raya ini, dan sisi
kejadiannya, dalam kadar atau ukuran tertentu, pada tempat
dan waktu tertentu, dan itulah yang disebut takdir. Tidak
ada sesuatu yang terjadi tanpa takdir, termasuk manusia.
Peristiwa-peristiwa tersebut berada dalam pengetahuan dan
ketentuan Tuhan, yang keduanya menurut sementara ulama dapat
disimpulkan dalam istilah sunnatullah, atau yang sering
secara salah kaprah disebut "hukum-hukum alam."

Penulis tidak sepenuhnya cenderung mempersamakan sunnatullah
dengan takdir. Karena sunnatullah yang digunakan oleh
Al-Quran adalah untuk hukum-hukum Tuhan yang pasti berlaku
bagi masyarakat, sedang takdir mencakup hukum-hukum
kemasyarakatan dan hukum-hukum alam. Dalam Al-Quran
"sunnatullah" terulang sebanyak delapan kali, "sunnatina"
sekali, "sunnatul awwalin" terulang tiga kali; kesemuanya
mengacu kepada hukum-hukum Tuhan yang berlaku pada
masyarakat. Baca misalnya QS Al-Ahzab (33): 38, 62 atau
Fathir 35, 43, atau Ghafir 40, 85, dan lain-lain.

Matahari, bulan, dan seluruh jagat raya telah ditetapkan
oleh Allah takdirnya yang tidak bisa mereka tawar,

"Datanglah (hai langit dan bumi) menurut perintah-Ku, suka
atau tidak suka!" Keduanya berkata, "Kami datang dengar
penuh ketaatan."

Demikian surat Fushshilat (41) ayat 11 melukiskan
"keniscayaan takdir dan ketiadaan pilihan bagi jagat raya."

Apakah demikian juga yang berlaku bagi manusia? Tampaknya
tidak sepenuhnya sama.

(bersambung ke 3/3)

Takdir (1/3)

Takdir (1/3)


Ketika Mu'awiyah ibn Abi Sufyan  menggantikan  Khalifah  IV,
Ali ibn Abi Thalib (W. 620 H), ia menulis surat kepada salah
seorang sahabat Nabi, Al-Mughirah ibn Syu'bah menanyakan,
"Apakah doa yang dibaca Nabi setiap selesai shalat?" Ia
memperoleh jawaban bahwa doa beliau adalah,

"Tiada Tuhan selain Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Wahai
Allah tidak ada yang mampu menghalangi apa yang engkau beri,
tidak juga ada yang mampu memberi apa yang Engkau halangi,
tidak berguna upaya yang bersungguh-sungguh. Semua bersumber
dari-Mu (HR Bukhari).

Doa ini dipopulerkannya untuk memberi kesan bahwa segala
sesuatu telah ditentukan Allah, dan tiada usaha manusia
sedikit pun. Kebijakan mempopulerkan doa ini, dinilai oleh
banyak pakar sebagai "bertujuan politis," karena dengan doa
itu para penguasa Dinasti Umayah melegitimasi kesewenangan
pemerintahan mereka, sebagai kehendak Allah. Begitu tulis
Abdul Halim Mahmud mantan Imam Terbesar Al-Azhar Mesir dalam
Al-Tafkir Al-Falsafi fi Al-Islam (hlm- 203).

Tentu saja, pandangan tersebut tidak diterima oleh
kebanyakan ulama. Ada yang demikian menggebu menolaknya
sehingga secara sadar atau tidak -mengumandangkan pernyataan
la qadar (tidak ada takdir). Manusia bebas melakukan apa
saja, bukankah Allah telah menganugerahkan kepada manusia
kebebasan memilih dan memilah? Mengapa manusia harus dihukum
kalau dia tidak memiliki kebebasan itu? Bukankah Allah
sendiri menegaskan,

"Siapa yang hendak beriman silakan beriman, siapa yang
hendak kufur silakan juga kufur" (QS Al-Kahf [18]: 29).

Masing-masing bertanggung jawab pada perbuatannya
sendiri-sendiri. Namun demikian, pandangan ini juga
disanggah. Ini mengurangi kebesaran dan kekuasaan Allah.
Bukankah Allah Mahakuasa? Bukankah

"Allah menciptakan kamu dan apa yang kamu lakukan" (QS
Al-Shaffat [37]: 96).

Tidakkah ayat ini berarti bahwa Tuhan menciptakan apa yang
kita lakukan? Demikian mereka berargumentasi. Selanjutnya
bukankah Al-Quran menegaskan bahwa,

"Apa yang kamu kehendaki, (tidak dapatterlaksana) kecuali
dengan kehendak Allah jua" (QS Al-Insan [76]: 30).

Demikian sedikit dari banyak perdebatan yang tak kunjung
habis di antara para teolog. Masing-masing menjadikan
Al-Quran sebagai pegangannya, seperti banyak orang yang
mencintai si Ayu, tetapi Ayu sendiri tidak mengenal mereka.

Kemudian didukung oleh penguasa yang ingin mempertahankan
kedudukannya, dan dipersubur oleh keterbelakangan umat dalam
berbagai bidang, meluaslah paham takdir dalam arti kedua di
atas, atau paling tidak, paham yang mirip dengannya

Yang jelas, Nabi dan sahabat-sahabat utama beliau, tidak
pernah mempersoalkan takdir sebagaimana dilakukan oleh para
teolog itu. Mereka sepenuhnya yakin tentang takdir Allah
yang menyentuh semua makhluk termasuk manusia, tetapi
sedikit pun keyakinan ini tidak menghalangi mereka
menyingsingkan lengan baju, berjuang, dan kalau kalah
sedikit pun mereka tidak menimpakan kesalahan kepada Allah.
Sikap Nabi dan para sahabat tersebut lahir, karena mereka
tidak memahami ayat-ayat Al-Quran secara parsial: ayat demi
ayat, atau sepotong-sepotong terlepas dari konteksnya,
tetapi memahaminya secara utuh, sebagaimana diajarkan oleh
Rasulullah Saw.

(bersambung ke 2/3)