Suluk Wijil

9 Sang Arif berkata lembut “Hai Wujil, kemarilah!” Dipegangnya kucir rambut Wujil Seraya dielus-elus Tanda kasihsayangnya “Wujil, dengar sekarang Jika kau harus masuk neraka Karena kata-kataku Aku yang akan menggantikan tempatmu” ... 11 “Ingatlah Wujil, waspadalah! Hidup di dunia ini Jangan ceroboh dan gegabah Sadarilah dirimu Bukan yang Haqq Dan Yang Haqq bukan dirimu Orang yang mengenal dirinya Akan mengenal Tuhan Asal usul semua kejadian Inilah jalan makrifat sejati”

Rabu, 25 Juli 2012

KESAKSIAN MELIHAT HILAL DI CAKUNG DIRAGUKAN


KESAKSIAN MELIHAT HILAL DI CAKUNG DIRAGUKAN


Front Pembela Islam (FPI) menyebut awal Ramadan jatuh pada Jumat 20 Juli besok. Hal ini dikarenakan empat saksi dari FPI telah melihat hilal di Cakung, Jakarta Timur.
Namun pendapat ini pun langsung diragukan, hal ini dikarenakan penjelasan mengenai melihat hilal oleh FPI tersebut lemah.

“Tadi disebutkan melihat hilal di Cakung pukul 17.53 WIB. di Jakarta pukul 17.53 itu belum masuk waktu magrib kenapa bisa melihat hilal. Ini aneh,” ujar Ketua Lanjah Falakiyah PBNU KH Ghozali Masruri saat sidang Isbat di Gedung Kemenag, Jl MH Thamrin, Jakarta, Kamis (19/7).
Tak hanya itu, Ghozali juga menyebut bahwa di Jakarta hanya FPI yang melihat hilal. Padahal kondisi Jakarta sore ini dalam kondisi mendung.
“Hakim yang menyumpah saksi itu juga patut dipertanyakan dari mana,” terangnya.
Ahli falak dari PBNU itu pun meragukan keterangan dari FPI. “Kalau tahun lalu saya menolak keterangan dari Cakung, maka kini saya perhalus. Saya meragukan keterangan dari pemantauan di cakung,” imbuhnya.
(Sumber: http://m.merdeka.com/peristiwa/keterangan-fpi-soal-hilal-terlihat-di-cakung-diragukan.html?fb_comment_id=fbc_10150963594048310_22893258_10150963637403310)

Inilah Alasan Pemerintah Menolak Persaksian Rukyatul Hilal di Cakung :
Oleh : Ust. Irfan Helmi (Dewan Fatwa MUI)
Laporan Tim Rukyatul Hilal Kemenag bahwa hilal tidak nampak di seluruh wilayah Indonesia. Ketinggian bulan baru 1,38°; usia hilal < 2jam; dan tebal bulan 1%.
Sebagai perbandingan: menurut para ahli astronomi, umumnya hilal baru bisa dilihat dengan teleskop pada ketinggian min 2°; usia bulan 8jam; dan tebal min 3%.
Oleh karna itu, pengakuan warga di cakung melihat hilal adalah ngawur. Bahkan mereka telah berdusta dengan mengatakan ketinggian hilal sudah 3,5%!
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللّهِ
Silakan disebar. Semoga bermanfaat.
Copas dari komentar akhi Abu Ayaz
(Sumber: https://www.facebook.com/negara.tauhid/posts/2328049578012?ref=notif&notif_t=feed_comment)

Cerita Rukyat Cakung (Hikayat Anak Bulan di Kaki Langit bagian 1)

oleh Ma’rufin Sudibyo pada 20 Juli 2012 pukul 9:11 ·
Telah dilaporkan bahwa empat orang anggota tim Cakung (Jakarta Timur) berhasil melihat hilaal dengan ketinggian 3,5 derajat sejak pukul 17:53 WIB hingga 5 menit kemudian tanpa terputus. Pelapor telah disumpah, namun hasil laporannya ternyata tidak diterima dalam sidang isbat. Mengapa?

Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan kami kepada kepada rekan-rekan tim Cakung, laporan tersebut memang meragukan. Ada beberapa alasan mendasarinya. Pertama, perhitungan ijtima’ (konjungsi Bulan-Matahari). Tim Cakung menggunakan hisab (perhitungan) Mansyuriyah yang bersandar pada kitab Sullam al-Nayyirain. Ilmu falak mengelompokkan hisab ini sebagai sistem hisab taqriby atau hisab berkualitas/berakurasi rendah. Dalam ijtima’ misalnya, jika sistem hisab kontemporer menyatakan terjadi pada pukul 11:24 WIB dengan akurasi sangat tinggi, hisab Mansyuriyah menyatakan ijtima’ terjadi pukul 09:26 WIB alias hampir 2 jam lebih dulu.

Masalah akurasi yang rendah ini sebenarnya sudah menjadi perhatian Guru Muhammad Mansyur al-Batawi saat menulis kitab tersebut pada 1925 silam. Dengan tegas beliau menekankan hasil perhitungan ijtima’ hisab Mansyuriyah harus dibandingkan dengan kejadian Gerhana Matahari, karena puncak Gerhana Matahari selalu bertepatan dengan ijtima’. Jika hasil perhitungan berbeda dengan kejadian Gerhana Matahari, maka dilakukan koreksi dengan mengacu Gerhana Matahari. Namun, sependek pengetahuan kami, tim Cakung tidak pernah membandingkan hasil perhitungannya dengan Gerhana Matahari, katakanlah seperti peristiwa Gerhana Matahari 2009 dan 2010. Di sisi lain, Badan Hisab dan Rukyat Nasional Kementerian Agama Republik Indonesia pernah menawarkan untuk meng-upgrade hisab Mansyuriyah agar memiliki kualifikasi sebagai hisab berkualitas tinggi. Namun tawaran ini ditolak dengan alasan kitab Sullam al-Nayyirain tidak boleh diutak-atik.

Kedua, terminologi “tinggi hilaal” dalam hisab Mansyuriyah berbeda dengan istilah yang sama dalam khasanah ilmu falak masa kini. “Tinggi hilaal” menurut hisab Mansyuriyah sebenarnya adalah elongasi (jarak sudut) Bulan dan Matahari. Jika posisi Bulan tidak tepat di atas Matahari, melainkan di sisi kirinya (seperti terjadi pada 19 Juli 2012 ini), akibatnya “tinggi hilaal” menurut hisab Mansyuriyah menjadi miring terhadap horizon (ufuk). Padahal pengertian tinggi hilaal dalam ilmu falak adalah jarak vertikal yang tegaklurus terhadap horizon. Silap antara tegaklurus dan miring menghasilkan kekeliruan elementer.

Ketiga, hilaal dianggap terlihat karena sudah lebih besar dari batas 2 derajat. Parameter tinggi hilaal 2 derajat sebenarnya hanya berlaku untuk sistem hisab kontemporer. Itupun tidak tunggal. Dalam kriteria imkan rukyat, hilaal dianggap bisa terlihat salah satu dari dua syarat berikut terpenuhi: tinggi terkoreksinya > 2 derajat dan umur Bulan > 8 jam, atau tinggi terkoreksi > 2 derajat dan elongasi > 3 derajat (tinggi terkoreksi 2 derajat = tinggi hilaal 2,25 derajat). Jika dihitung dengan sistem hisab kontemporer, pada lokasi Cakung tinggi hilaalnya sebenarnya hanya 1 derajat alias masih jauh dari batas 2,25 derajat. Sementara bagi hisab Mansyuriyah sendiri, dulu Guru Mansyur telah menggarisbawahi kalau “tinggi hilaal” yang bisa diterima sebagai parameter batas adalah sebesar 8, 7 atau 6 derajat. Sehingga jika perhitungannya berbasis hisab Mansyuriyah namun parameternya menggunakan sistem hisab kontemporer, jelas tidak nyambung dan ada kesilapan elementer.

Keempat, kesaksian terlihatnya hilaal amat meragukan, sebab Cakung bukan lokasi ideal untuk observasi benda langit apalagi di ketinggian amat rendah. Arah pandang ke barat dicemari beberapa sumber cahaya pengganggu, mulai lampu menara seluler, arus lalu lintas pesawat yang bersiap mendarat atau lepas landas dari bandara Soekarno-Hatta dan sebagainya. Seorang perukyat yang berkualifikasi harus mengeliminasi terlebih dahulu kemungkinan-kemungkinan sumber cahaya pengganggu di kaki langit barat, baik berupa cahaya latar depan (seperti lampu menara, lampu pesawat, lampu kapal, pantulan cahaya Matahari di awan tertentu, balon udara dlsb) maupun cahaya latar belakang (Venus, Mars, Jupiter dan bintang Sirius). Jadi tidak sekedar asal ada titik cahaya di kaki langit barat pada arah yang diprediksi lantas diproklamirkan sebagai hilaal.

Dan yang kelima, kesaksian terlihatnya hilaal datang dari pengamat yang tidak dilengkapi alat bantu optik. Kita bisa memperhitungkan bahwa di Cakung, baik tanpa ataupun dengan menggunakan alat bantu optik sekalipun, terjadi situasi dimana intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi (setelah melintasi atmosfer) telah lebih besar dibanding intensitas cahaya senja (yang adalah cahaya Matahari yang dibiaskan dan dihamburkan di atmosfer). Namun nilai kontras Bulan, yakni rasio antara intensitas cahaya Bulan di permukaan Bumi terhadap cahaya senja, masih jauh di bawah ambang batas kontras mata. Maksudnya, jika cahaya senja memiliki warna kemerah-merahan, Bulan tepat berada di lingkungan cahaya kemerah-merahan tersebut dan juga masih berwana kemerah-merahan (belum didominasi warna putih) sehingga mata takkan bisa membedakannya.

Kasus Cakung mendemonstrasikan betapa kita membutuhkan hisab (perhitungan) yang berkualitas dan diimbangi juga dengan rukyat (observasi) yang berkualitas pula. Rukyat yang tidak berkualitas sulit untuk ditakar kesahihannya karena faktor-faktor di atas yang saling berkait berkelindan. Kasus Cakung sebenarnya bukan hal yang baru bagi Indonesia dan Dunia Islam pada umumnya. Data dari Saudi Arabia berkata, selama periode 1961-1964 ada 87 % hasil rukyat yang dipertanyakan kesahihannya. Data dari Yordania lebih mengejutkan lagi, karena selama periode 1957-2004 ada 92 % hasil rukyat yang sulit dipercaya kesahihannya. Demikian pula dari Indonesia selama periode 1962-1997, terdapat 70 % hasil rukyat yang dikategorikan tidak sahih. Hal-hal semacam ini tentu tidak perlu terjadi lagi di masa depan.


Keterangan gambar = Atas : posisi Bulan dan Matahari untuk Cakung pada Kamis 19 Juli 2012 saat terbenam berdasarkan hisab sistem kontemporer yang berakurasi tinggi. Nampak Bulan masih berada di bawah batas garis tinggi 2 derajat. Garis tebal penghubung Bulan dan Matahari adalah elongasi. Bawah kiri : hasil perhitungan intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi untuk lokasi Cakung dan intensitas cahaya senja, dinyatakan dalam kurva semi-logaritmik. Nampak sejak Matahari terbenam hingga saat Bulan terbenam, intensitas cahaya Bulan sudah lebih besar dibanding cahaya senja. Bawah kanan : nilai kontras Bulan (rasio intensitas cahaya Bulan yang diterima di permukaan Bumi terhadap cahaya senja) dibandingkan dengan ambang batas kontras mata (Cth) sebagai fungsi batas resolusi mata manusia. Nampak sejak Matahari terbenam hingga Bulan terbenam, kontras Bulan tidak pernah melebihi nilai ambang batas kontras mata.
[(Sumber: https://www.facebook.com/notes/marufin-sudibyo/cerita-rukyat-cakung-hikayat-anak-bulan-di-kaki-langit-bagian-1/10151111602689595)
https://gizanherbal.wordpress.com/2012/07/19/kesaksian-melihat-hilal-di-cakung-diragukan/]